Nasigorengseratus

Labels

Selasa, 27 Januari 2015

Cerpen Islami Ala Kang_@af (BINGKISAN KECIL DISERATUS TAHUN KITA)


BINGKISAN KECIL DISERATUS TAHUN KITA
“Angin-Angin kemari” deru keras sidaun yang sedang hijau lebar itu.
“Ada Apa? sidaun tumben pagi-pagi sudah bangun”. Jawab angin.
“Angin aku ingin menari, tolong goyangkan aku…” pinta daun
Daun-daun disetiap pagipun terbangun, mencari angin, mengejar mimpi-mimpinya, suaranya yang merdu membawa kesejukan, irama siulan burung menambah melodi dalam setiap getaran daun yang basah dengan embun-embun. Semaunya tertawa, pandangan daun lepas keatas, menatap langit-langit yang memberikan kesejukan, mentari mulai sepenombakan, indahnya langit itu, membuat daun terus ingin keatas mengejarnya.
“Hai langit, tuhan menciptakanmu seungguh luar biasa. Engkau begitu dermawan, engkau memberikan aku segalanya, hujanmu, embunmu, bahkan cahayamu.  Semuanya terpadu dalam dirimu, aku mengagumimu langit” Teriak sidaun, menggelegar diantara telinga-telinga fiktif.
Angin selalu membuat hari-hari sidaun terbang melayang,  goyangannya kecil terus membuat sidaun tak henti menari, ingin rasanya dia mengajak yang lain kenapa, ntahlah semuanya hanya parody, senyum sedih dipadukan, ya abstrak, itulah angin. Cendrung saja bila dipikirkan semakin rumit diluar dunia manusia.
Ada hal kecil yang daun abaikan, setiap hari sibatang berusaha memikul beban semuanya, sibatang berusaha untuk berbuah tapi selalu pupus entahlah, sibatang hanya bisa berucap mungkin musin depan. Selalu musim depan, dan selalu musim depan, setia hari dia mencoba menciptakan daun yang lebih segar dari saat ini, tapi sidaun setiap hari pula dia menggugurkannya, kesan pahit, elegi dia tanam dalam akar kokohnya, dipendam dan diabaikan.
“Daun… apa yang masih kurang dari diriku” ungkap sibatang, penuh semangat.
“Sibatang aku ingin kita lebih tinggi dan besar lagi, aku ingin kita buat ranting-ranting yang panjang agar aku semakin banyak dan bisa mengindahkan alam bersama langit dan cahaya fajarnya dipagi hari, agar juga aku bisa mencuci wajahku dari embu-embun yang langit berikan, serta aku bisa dilihat oleh semuanya, betapa hijaunya, indahnya aku, dan betapa cantiknya aku.”
“Masihkan aku kurang selama ini menghijaukanmu, membuatmu semakin banyak dan mengindahkanmu, aku juga yang mendekatkanmu dengan angin, aku junjung tinggi dirimu agar kamu bisa merasakan semuanya, walaupun aku masih belum pernah merasakannya, tapi aku merasa senang karena dirimu sudah cukup bahagia setiap pagi, dengan nyanyian burung dan cahaya pagi yang begitu menghangatkanmu.
“Engkau egois, mana pengorbananmu, kamu hanya bisa membuatku bisa setinggi ini, dan bisa membuatku sebanyak ini, mana janji kamu untuk mengindahkanku, jadi selama ini kamu, melakukan ini hanya sekedar untuk menghiburku, kenapa kamu lakukan ini kepadaku, katanya kamu menyayangiku, mencintaiku, katanya kamu begitu hawatir dan takut untuk kehilanganku, terus kenapa yang aku inginkan kamu melarangnya, kamu keterlaluan. Kamu begitu hawatir dengan semuanya tapi kelakuan kamu seperti tidak ada hawatirnya sama sekali” sidaun kesal dengan ungkapan sibatang, ya mereka bertengkar lagi, mereka menyatu tapi terpisah, mereka satu tapi mendua, mereka seikat tapi berpencar. Rumit memafahaminya. Hanya yang punya selera yang bisa begini, siapa?, kurang tahu yang selera saja.  langitpun mendung gelap, air hujanpun turun untuk menghibur mereka berdua, sayang cahaya mentari tak ikut campur dengan ini, perang hati terus bergulat menguji kegoisannya masing-masing. Sibatang terus berusaha dalam keadaan marah, terus berusaha untuk menghijaukan daun-daun dihari esok.
“Indanya pagi ini, hijaunya..?” rayu si sibatang mencoba meminta maaf atas pertikaian didemensi waktunya.
“kamu masih marah” sibatang kembali melobi perasaannya.
“kenapa kamu lakukan ini semua, bukankah sudah banyak daun hari ini, atau kamu hanya ingin menjelek-jelekkan keadaanku saja. kau egois. Disaat marah, semuanya sepertinya ingin kau lakukan semuanya untukku. Palsu, bohong, fatamorgana. Kau jahat. Aku sangat mencintaimu tapi aku sudah sangat  terlanjur membencimu”. Emosinya makin meluap bagai panci mendidih diatas kompor.
“Huf…. Sudahlah dia sedang marah” besit sibatang, “egois aku apa dia…?,” besitnya lagi menyusul episode besitan pertama. “terlanjur benci ya…?” besitan edisi tiga terus menyusul, baru besitan dan besitan terus hadir hingga beberapa edisi tak terhingga, “ya enyahlah, aku ya diriku sendiri”  besitan ini edisi terakhir.
Sejak sibatang lahir dia terus berusaha untuk bangkit, indah rasanya ketika pertama kali lahir diselimuti oleh daun besar, damai, hingga sibatang jatuh cinta, cinta bukan karena parasnya yang hijau indah, tapi karena kondisi sidaun yang begitu baik namun begitu lemah, mudah terhempas disekitarnya dan mudah bergoyang oleh tetesan hujan, gampang runtuh oleh tiupan angin kecil. Tapi daun tidak menyadari dirinya sendiri, sehingga dia terkesan meremehkan hal kecil. Yang bisa menimbul sesuatu yang besar.
Lama sekali sibatang tidak melakukan apa-apa,  sepertinya dia lagi menjauh, tapi menjauh kemana, mereka berdua satu, tapi konfik, konflik apa…?, hanya yang merasakan yang bisa menerka,  sayatan bahasa yang lembut ini, tak terdengar oleh amarah yang berkepanjangan, pujian, bingkisan sekalipun seperti roti tawar yang sudah basi, ada kekecewaan  dalam benak sibatang, ada juga sedikit putus asa, ingin rasanya batang menggugurkan daun-daun itu, tapi tak bisa, rasa sayang yang besar, membuatnya begitu lemah, menggugurkan satu helaipun tak sanggup.
Disisi lain daun-daun merasa tertekan hebat, rantingnyapun basah oleh tangisan walau tak ada airmata tapi perasaan berkata seperti itu, hijau yang merona beralih menjadi hijau kusut, ini bukan musim kemarau, tapi tangisan tekanan batin, diaroma terpaut diruas-ruasnya, angin sahabat dekatnya mencoba membuatnya menari, langit-langitpun sedih pula iba, semuanya menyalahkan Batang, “Batang terlalu egois” pungkasnya. Langitpun terus mengguyur membasahi daun, dan ingin menyegarkannya kembali, anginpun terus bergoyang kencang untuk mengajaknya bergoyang dan bernyanyi, lagi-lagi cahaya mentari tak ikut campur dengan konflik ini, entah kenapa..?.
Konflik ini terus berkepanjangan daun yang lebam itu sedikit menghijau, hujanpun terus menderas karena daun itu hampir menghijau, angin sebagai sahabat ingin sekali berupaya membuat daun itu tertawa tapi mulutnya dimana, bingung juga sedangkan tangisannya kentara dari kusutnya dia.
Langit terus memberikan hujannya demi sahabat sidaun begitu pula dengan angin semakin kencang karena ingin menghiburnya.  Dilain sisi kondisi sudah becek,, selama itu pula sibatang menahan agar dirinya tak roboh, teruslah kuat, karena dia takut daun-daun itu akan lenyap, daun masih acuh, menyangka sibatang tak melakukan apa-apa, daun menyangka sibatang sudah tak perduli lagi padanya. Sibatang menyadari hal  itu, namun sidaun tak pernah mau kebawah ada apa dibawah, ya karena sahabat-sahabat sidaun telah membutakannya, perasan batang waktu itu terus terdesak, tertekan dan merasa tertindih hebat.
“Brruuaaaakk” akhirnya sipohon menyerah tumbang, ada bingkisan kecil yang dia pertahankan.
Hujan dan angin hanya bisa melambaikan tangan setelah runtuh, apa ini yang dinamakan sahabat, yang selalu memberi pendapat dan membenarkan,tapi tak menyadari hal itu telah menjatuhkannya.
“Daun…. aku begitu menyayangimu, aku tidak ingin menjatukanmu seperti ini, aku ingin terus hidup dan menghijaukanmu, tapi aku tidak sanggup terus kedinginan dan terus basah seperti ini. Aku minta maaf” ungkapan sibatang.
“Maafin aku juga, selama ini aku salah, engkau begitu memperjuangkan aku, hanya saja aku tidak sadar kalau dirimu begitu berarti dan sangat membutuhkanmu, engkaulah ruhku.” Sesal daun mendalam.
“Sudahlah tak usah menyesal, semuanya sudah berlalu, yang telah berlalu jangan ungkit kembali dimasa depan, buatlah hari esok lebih berarti, kita harus bisa terus hidup dihari berikutnya, maksudku cinta kita harus tetap hidup, walau setelah ini aku akan jadi kayu bakar, dan menghangatkan orang lain, maaf aku tidak bisa menghangatkanmu karena kita hidup dalam dimensi masing-masing”. Tutur batang mulai sayu.
“Aku benar-benar menyesal sekarang, aku akan terus berusaha untuk menjadi diriku sendiri, andai saja waktu kita bisa kembali, aku tidak akan melakukan hali ini” ungkap daun kembali.
“Penyesalan selalu diakhir, aku begitu mencintaimu, janganlah menyesal dengan apa yang terjadi sekarang, syukurilah dan ambil hikmah dari semua ini, daun…. Selama seratus tahun aku hidup bersamamu tapi aku masih belum bisa menjadi yang kamu harapkan, yang bisa memberikan semuanya, aku juga minta maaf, aku tidak bisa memberikan apa-apa, aku hanya bisa memberikan buah kecil ini, yang aku pertahankan disaat hujan dan angin tadi, karena setelah ini cinta kita akan tumbuh kembali diepisode kedua” ungkap batang penuh tangis.
Bingung ya bingung desiran diaroma air mata terasa diakhir, penyesalan pungkasnya jangan disesali, yang berlalu jangan diungkit dimasa depan bila tak bisa menghargainya, elegi berkepanjangan disapu oleh angin, sibatangpun mengering, yang dulunya kokoh kini merapuh, buah yang dia persembahkan untuk sidaun sudah tenggelam ditanah, sedangkan daun sudah lama bekasnya menghilang, sibatang hanya memiliki keyakinan  yang kuat bahwa cintanya akan tumbuh kembali, dan hujanlah, maka buah yang dia persembahkan untuk sidaun menguncup dan inilah awal dari cinta sibatang yang terhempas angin badai waktu lalu akan lahir kembali, hiduplah cintanya…???. Dan cahaya fajar hadir untuk menyemangatinya.
(Kang Aaf AR)
*Penulis Amatir Tinta Emas Madura

0 Celoteh Mereka:

Posting Komentar

 

CERPEN ISLAMI

UNTUK UMUM

KARYA PRIBADI @af

SILAHKAN KUNJUNGI: http//:cepatkreatif.blogspot.com

LP3S

Lembaga Penerbitan Pp. Syaichona MOh. Cholil.