BINGKISAN KECIL DISERATUS TAHUN KITA
“Angin-Angin kemari” deru keras sidaun yang sedang hijau lebar
itu.
“Ada Apa? sidaun tumben pagi-pagi sudah bangun”. Jawab angin.
“Angin aku ingin menari, tolong goyangkan aku…” pinta daun
Daun-daun disetiap pagipun terbangun,
mencari angin, mengejar mimpi-mimpinya, suaranya yang merdu membawa kesejukan,
irama siulan burung menambah melodi dalam setiap getaran daun yang basah dengan
embun-embun. Semaunya tertawa, pandangan daun lepas keatas, menatap
langit-langit yang memberikan kesejukan, mentari mulai sepenombakan, indahnya
langit itu, membuat daun terus ingin keatas mengejarnya.
“Hai langit, tuhan menciptakanmu seungguh
luar biasa. Engkau begitu dermawan, engkau memberikan aku segalanya, hujanmu,
embunmu, bahkan cahayamu. Semuanya
terpadu dalam dirimu, aku mengagumimu langit” Teriak sidaun, menggelegar diantara
telinga-telinga fiktif.
Angin selalu membuat hari-hari sidaun
terbang melayang, goyangannya kecil
terus membuat sidaun tak henti menari, ingin rasanya dia mengajak yang lain
kenapa, ntahlah semuanya hanya parody, senyum sedih dipadukan, ya abstrak,
itulah angin. Cendrung saja bila dipikirkan semakin rumit diluar dunia manusia.
Ada hal kecil yang daun abaikan, setiap
hari sibatang berusaha memikul beban semuanya, sibatang berusaha untuk berbuah
tapi selalu pupus entahlah, sibatang hanya bisa berucap mungkin musin depan.
Selalu musim depan, dan selalu musim depan, setia hari dia mencoba menciptakan
daun yang lebih segar dari saat ini, tapi sidaun setiap hari pula dia
menggugurkannya, kesan pahit, elegi dia tanam dalam akar kokohnya, dipendam dan
diabaikan.
“Daun… apa yang masih kurang dari diriku” ungkap sibatang, penuh semangat.
“Sibatang aku ingin kita lebih tinggi dan besar lagi, aku ingin
kita buat ranting-ranting yang panjang agar aku semakin banyak dan bisa
mengindahkan alam bersama langit dan cahaya fajarnya dipagi hari, agar juga aku
bisa mencuci wajahku dari embu-embun yang langit berikan, serta aku bisa
dilihat oleh semuanya, betapa hijaunya, indahnya aku, dan betapa cantiknya
aku.”
“Masihkan aku kurang selama ini menghijaukanmu, membuatmu
semakin banyak dan mengindahkanmu, aku juga yang mendekatkanmu dengan angin,
aku junjung tinggi dirimu agar kamu bisa merasakan semuanya, walaupun aku masih
belum pernah merasakannya, tapi aku merasa senang karena dirimu sudah cukup bahagia
setiap pagi, dengan nyanyian burung dan cahaya pagi yang begitu
menghangatkanmu.
“Engkau egois, mana pengorbananmu, kamu hanya bisa membuatku
bisa setinggi ini, dan bisa membuatku sebanyak ini, mana janji kamu untuk
mengindahkanku, jadi selama ini kamu, melakukan ini hanya sekedar untuk
menghiburku, kenapa kamu lakukan ini kepadaku, katanya kamu menyayangiku,
mencintaiku, katanya kamu begitu hawatir dan takut untuk kehilanganku, terus
kenapa yang aku inginkan kamu melarangnya, kamu keterlaluan. Kamu begitu
hawatir dengan semuanya tapi kelakuan kamu seperti tidak ada hawatirnya sama
sekali”
sidaun kesal dengan ungkapan sibatang, ya mereka bertengkar lagi, mereka
menyatu tapi terpisah, mereka satu tapi mendua, mereka seikat tapi berpencar.
Rumit memafahaminya. Hanya yang punya selera yang bisa begini, siapa?, kurang
tahu yang selera saja. langitpun mendung
gelap, air hujanpun turun untuk menghibur mereka berdua, sayang cahaya mentari
tak ikut campur dengan ini, perang hati terus bergulat menguji kegoisannya
masing-masing. Sibatang terus berusaha dalam keadaan marah, terus berusaha
untuk menghijaukan daun-daun dihari esok.
“Indanya pagi ini, hijaunya..?” rayu si sibatang mencoba meminta maaf
atas pertikaian didemensi waktunya.
“kamu masih marah” sibatang kembali melobi perasaannya.
“kenapa kamu lakukan ini semua, bukankah sudah banyak daun hari
ini, atau kamu hanya ingin menjelek-jelekkan keadaanku saja. kau egois. Disaat
marah, semuanya sepertinya ingin kau lakukan semuanya untukku. Palsu, bohong,
fatamorgana. Kau jahat. Aku sangat mencintaimu tapi aku sudah sangat terlanjur membencimu”. Emosinya makin meluap bagai panci
mendidih diatas kompor.
“Huf…. Sudahlah dia sedang marah” besit sibatang, “egois aku apa dia…?,”
besitnya lagi menyusul episode besitan pertama. “terlanjur benci ya…?”
besitan edisi tiga terus menyusul, baru besitan dan besitan terus hadir hingga
beberapa edisi tak terhingga, “ya enyahlah, aku ya diriku sendiri” besitan ini edisi terakhir.
Sejak sibatang lahir dia terus berusaha
untuk bangkit, indah rasanya ketika pertama kali lahir diselimuti oleh daun
besar, damai, hingga sibatang jatuh cinta, cinta bukan karena parasnya yang
hijau indah, tapi karena kondisi sidaun yang begitu baik namun begitu lemah,
mudah terhempas disekitarnya dan mudah bergoyang oleh tetesan hujan, gampang
runtuh oleh tiupan angin kecil. Tapi daun tidak menyadari dirinya sendiri,
sehingga dia terkesan meremehkan hal kecil. Yang bisa menimbul sesuatu yang
besar.
Lama sekali sibatang tidak melakukan
apa-apa, sepertinya dia lagi menjauh,
tapi menjauh kemana, mereka berdua satu, tapi konfik, konflik apa…?, hanya yang
merasakan yang bisa menerka, sayatan
bahasa yang lembut ini, tak terdengar oleh amarah yang berkepanjangan, pujian,
bingkisan sekalipun seperti roti tawar yang sudah basi, ada kekecewaan dalam benak sibatang, ada juga sedikit putus
asa, ingin rasanya batang menggugurkan daun-daun itu, tapi tak bisa, rasa
sayang yang besar, membuatnya begitu lemah, menggugurkan satu helaipun tak
sanggup.
Disisi lain daun-daun merasa tertekan
hebat, rantingnyapun basah oleh tangisan walau tak ada airmata tapi perasaan
berkata seperti itu, hijau yang merona beralih menjadi hijau kusut, ini bukan
musim kemarau, tapi tangisan tekanan batin, diaroma terpaut diruas-ruasnya,
angin sahabat dekatnya mencoba membuatnya menari, langit-langitpun sedih pula
iba, semuanya menyalahkan Batang, “Batang terlalu egois” pungkasnya. Langitpun
terus mengguyur membasahi daun, dan ingin menyegarkannya kembali, anginpun
terus bergoyang kencang untuk mengajaknya bergoyang dan bernyanyi, lagi-lagi
cahaya mentari tak ikut campur dengan konflik ini, entah kenapa..?.
Konflik ini terus berkepanjangan daun yang
lebam itu sedikit menghijau, hujanpun terus menderas karena daun itu hampir
menghijau, angin sebagai sahabat ingin sekali berupaya membuat daun itu tertawa
tapi mulutnya dimana, bingung juga sedangkan tangisannya kentara dari kusutnya
dia.
Langit
terus memberikan hujannya demi sahabat sidaun begitu pula dengan angin semakin
kencang karena ingin menghiburnya.
Dilain sisi kondisi sudah becek,, selama itu pula sibatang menahan agar
dirinya tak roboh, teruslah kuat, karena dia takut daun-daun itu akan lenyap,
daun masih acuh, menyangka sibatang tak melakukan apa-apa, daun menyangka
sibatang sudah tak perduli lagi padanya. Sibatang menyadari hal itu, namun sidaun tak pernah mau kebawah ada
apa dibawah, ya karena sahabat-sahabat sidaun telah membutakannya, perasan batang
waktu itu terus terdesak, tertekan dan merasa tertindih hebat.
“Brruuaaaakk” akhirnya sipohon menyerah tumbang, ada bingkisan kecil yang
dia pertahankan.
Hujan
dan angin hanya bisa melambaikan tangan setelah runtuh, apa ini yang dinamakan
sahabat, yang selalu memberi pendapat dan membenarkan,tapi tak menyadari hal
itu telah menjatuhkannya.
“Daun…. aku begitu menyayangimu, aku tidak ingin menjatukanmu
seperti ini, aku ingin terus hidup dan menghijaukanmu, tapi aku tidak sanggup
terus kedinginan dan terus basah seperti ini. Aku minta maaf” ungkapan sibatang.
“Maafin aku juga, selama ini aku salah, engkau begitu
memperjuangkan aku, hanya saja aku tidak sadar kalau dirimu begitu berarti dan
sangat membutuhkanmu, engkaulah ruhku.” Sesal daun mendalam.
“Sudahlah tak usah menyesal, semuanya sudah berlalu, yang telah
berlalu jangan ungkit kembali dimasa depan, buatlah hari esok lebih berarti,
kita harus bisa terus hidup dihari berikutnya, maksudku cinta kita harus tetap
hidup, walau setelah ini aku akan jadi kayu bakar, dan menghangatkan orang
lain, maaf aku tidak bisa menghangatkanmu karena kita hidup dalam dimensi
masing-masing”.
Tutur batang mulai sayu.
“Aku benar-benar menyesal sekarang, aku akan terus berusaha
untuk menjadi diriku sendiri, andai saja waktu kita bisa kembali, aku tidak
akan melakukan hali ini” ungkap daun kembali.
“Penyesalan selalu diakhir, aku begitu mencintaimu, janganlah
menyesal dengan apa yang terjadi sekarang, syukurilah dan ambil hikmah dari
semua ini, daun…. Selama seratus tahun aku hidup bersamamu tapi aku masih belum
bisa menjadi yang kamu harapkan, yang bisa memberikan semuanya, aku juga minta
maaf, aku tidak bisa memberikan apa-apa, aku hanya bisa memberikan buah kecil
ini, yang aku pertahankan disaat hujan dan angin tadi, karena setelah ini cinta
kita akan tumbuh kembali diepisode kedua” ungkap batang penuh tangis.
Bingung ya bingung desiran diaroma air
mata terasa diakhir, penyesalan pungkasnya jangan disesali, yang berlalu jangan
diungkit dimasa depan bila tak bisa menghargainya, elegi berkepanjangan disapu
oleh angin, sibatangpun mengering, yang dulunya kokoh kini merapuh, buah yang
dia persembahkan untuk sidaun sudah tenggelam ditanah, sedangkan daun sudah
lama bekasnya menghilang, sibatang hanya memiliki keyakinan yang kuat bahwa cintanya akan tumbuh kembali,
dan hujanlah, maka buah yang dia persembahkan untuk sidaun menguncup dan inilah
awal dari cinta sibatang yang terhempas angin badai waktu lalu akan lahir
kembali, hiduplah cintanya…???. Dan cahaya fajar hadir untuk menyemangatinya.
(Kang Aaf AR)
*Penulis Amatir Tinta Emas Madura
0 Celoteh Mereka:
Posting Komentar