Nasigorengseratus

Labels

Selasa, 24 Februari 2015

(Kang aaf RR ) KITAB MAFAHIM, Hal 34 S/d 56


PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH
LUGHAWIYYAH
Sebagian ulama mereka mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan
tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah
sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda
Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman
dan menggambar–kan bid’ah sebagai sesat.
Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik
risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang
mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap
bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk.
Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan
ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan
syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan
permasalahan yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga
menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa
perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan
bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya,
keluarga, saudara dan masyarakatnya.
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah
terbagi menjadi dua ; (1) bid’ah diiniyyah (keagamaan) dan (2) bid’ah duniawiyyah
(keduniaan). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan
menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita
setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diiniyyah
dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian.
Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang ?
35
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber
dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diiniyyah
yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan
mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah
itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak,
tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diiniyyah
yang sesat dan duniawiyyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa. Karena itu
harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan
akan menjadi jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan
syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang
dibawa Syaari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap
hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap
dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan
dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at
agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi
syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah
yang mendapat ancaman dari Nabi SAW :
_<V #9_ rA_ __ _._ )G _&___ 3V _/^_ __
"Barangsiapa menciptakan dalam urusan (agama) kami (_)G _&___ 3V), hal baru yang
bukan (rA_ __) bagian darinya (#9_), maka ia tertolak."
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat (_)G _&___ 3V). Oleh karena itu
pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya
berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar
menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak
lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang
menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi
mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu
jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang
mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya
mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi
bid’ah dalam bid’ah diiniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian
ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa
pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka
mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan
perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka.
Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini
tidaklah substansial.
Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah
menjadi hasanah dan sayyi’ah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah
diiniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat.
36
Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diiniyyah itu sesat, –ini adalah
pendapat yang benar– dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka
telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua
bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan
fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara
mendetail.
Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk
sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh.
Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat,
cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas
adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam
pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar
terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah.
Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat
cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru
untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum
muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau
khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di
dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin
direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat
pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan
meridloi kajian mereka terhadap lafadz-lafadz yang shahih dan mencukupi yang
mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau
interpretasi.
AJAKAN PARA IMAM TASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN
SYARIAH
Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang
bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan
tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan
gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang
yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang
sufi. Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan
memusuhi pengamal tashawwuf bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian
tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya
di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran.
Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid,
Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.” Fudlail ibn
‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi
adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan,
informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia
37
bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta? Saya ingin mengutip pandangan
para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka
sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan
manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling
dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan. Al-Imam Junaid RA berkata : “ Semua
jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah,
sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka
untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.
”Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bustomi suatu hari berbicara
pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan
dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi
wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat.
Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat
dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia
dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu
Yazid. Dzunnuun Al-Mishri berkata, "Poros dari segala ungkapan (Madaarul Kalam) ada
empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-
Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka.
Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw
dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya." As-Sirri As-Siqthi berkata,
Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah
orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara
menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahiriah Al-
Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir
keharaman Allah.
Abu Nashr Bisyr ibn Al-Harits Al-Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi SAW. “
Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan temantemanmu?
Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “ Sebab Engkau
mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada temantemanmu
dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang
membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk
memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian
saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah
tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah.
Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah
perempuan menghadapku atau tembok.
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi
beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu
38
sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah,
menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani berkata, “Terkadang, selama beberapa
hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima
isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi adil ; Al-Qur’an dan As-Sunnah. Abul Hasan
Ahmad ibn Abil Hawaari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa
mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur
semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, dan tidak berburuk
sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam
daftar para tokoh besar (Diwaan Ar-Rijaal).
Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan
Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini
(tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”Ia juga berkata,
“ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan As-Sunnah dan ilmuku ini
dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka
anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu
‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam
penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”Ia juga berkata, “Bersahabat
dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepada-Nya.
Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa
mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan
mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat
dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan
dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih. Ia
juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam
ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa
memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan
berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman yang Artinya : "Jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." (Q.S. An-Nuur : 54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat
orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas dari batasan
ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-
Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan,
mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa
merasakan kehadiran Allah (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan
mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak
akan meleset.”
39
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa
menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi
hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib
Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.” Ia juga
mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika
engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya,
takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka
lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan
Allah maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan
menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan
beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah
adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”
Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormati
masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan
menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah
satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan
sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah
kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”
SUBSTANSI KELOMPOK IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI
(AL-ASYAA’IRAH)
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab Al-Asya’irah (kelompok ulama
penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode
mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka
sesat atau telah keluar dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat
Allah. Ketidaktahuan terhadap madzhab Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan
kelompok ahlussunnah dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian
kalangan yang bodoh memasukkan Al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat.
Saya tidak habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan?
Dan mengapa ahlussunnah dan kelompok ekstrim Mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?.
"Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang
yang berdosa (orang kafir)." (Q.S. Al-Qalam : 35). Al-Asya’irah adalah para imam
simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur
dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan
mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah yang menentang
kesewenang-wenangan Mu’tazilah.
40
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Asya’irah digambarkan sbb : Para ulama
adalah pembela ilmu agama dan Al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama (ushuluddin).
Al-Fataawaa, jilid 4. Al-Asyaa’irah (penganut madzhab Al-Asy’ari) terdiri dari
kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :
• Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai
gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari.
• Syaikhul Ulama Ahlissunnah, Al-Imam An-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim,
dan penyusun banyak kitab populer.
• Syaikhul Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi penyusun tafsir Al-Jaami’ li Ahkaamil
Qur’an.
• Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami, penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil
Kabaa’ir.
• Syaikhul Fiqh , Al-Ahujjah Ats-Tsabat (Hujjah Terpercaya ) Zakaaria Al-Anshari.
• Al-Imam Abu Bakar Al-Baaqilani
• Al-Imam Al-Qashthalani.
• Al-Imam An-Nasafi
• Al-Imam Asy-Syarbini
• Abu Hayyan An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru Al-Muhith.
• Al-Imam Ibnu Juza, penyusun At-Tashil fi ‘Uluumittanziil.
• Dsb.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari
kalangan Al-Asyaa’irah, maka keadaan tidak akan memungkinkan dan kita
membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu
mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk
berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orangorang
yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah
mengabdi kepada syari’at junjungan para rasul Muhammad SAW.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi
salaf shalih telah menyimpang dan sesat ? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati
kita untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah
menyimpang dan tersesat dari jalan Islam? Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama
sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi kepada
hadits Nabi SAW sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan Al-Imam
An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan keridloan kepada mereka berdua.”
Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan ulama Al-Asyaa’irah yang lain,
padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ? Mengapa kita mengambil ilmu dari
mereka jika mereka memang sesat? Padahal Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah
berkata : Ilmu hadits ini adalah agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil
agama kalian. Apakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam
di atas, untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah
dalam menafsirkan sifat-sifat Allah.
41
Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka.” Sebagai ganti dari
ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang
yang mengkategorikan mereka sebagai ahlussunnah. Bila Al-Imam An-Nawawi, Al-
‘Asqalani, Al-Qurthubi, Al-Fakhrurrazi, Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari dan ulama
besar lain tidak dikategorikan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, lalu siapakah mereka
yang termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah?.Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua
pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut kepada
Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh besar
ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap dalam kondisi baik hingga tiba hari
kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui kedudukan dan keutamaan
para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak substansi persoalan dalam
bidang aqidah, yang Allah tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan
saya polemik ini telah menghilangkan keindahan dan keagungan substansi masalah ini.
Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan
bagaimana cara melihatnya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut
persoalan ini. sebagian berpendapat Nabi melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian
berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan
membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna.
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulkan
dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika
masyarakat awam mendengar polemik yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati
mereka ini. Jika kita mau mengesampingkan polemik ini dan menganggap cukup dengan
menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap
dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan
bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya. Cukup kita berkata demikian sedangkan
menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi.
(_       A__ 8"__ ,_ _]_) *
Salah satu substansi persoalan di atas adalah polemik yang berkembang di antara para
ulama menyangkut substansi firman Allah SWT dan perbedaan luas dalam masalah ini.
sebagian berpendapat bahwa firman Allah adalah suara hati (kalam nafsi) dan sebagian
lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapat
kedua pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah dan menjauhi syirik
dalam berbagai bentuknya.
Persoalan kalam (firman Allah) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak
meniadakan kesempurnaan ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari
aspek lain, sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib dipercayai dan
ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri. Apa yang saya
yakini dan saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarakan
42
bagaimana cara dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa Allah memiliki sifat kalam dan
berkata : Ini adalah kalam Allah dan Allah SWT adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup
berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam
yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi Muhammad sebagai pembawa
tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa yang
datang dibawa oleh Nabi ? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah terburuk ?
Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim. Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita
tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah SWT.
Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya menyangkut substansi kalam dan
masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya
(3+5 __ _]___ 3&-)
*”Saya Mampu Melihatmu dari Belakang.”
Salah satu substansi persoalan di atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama
menyangkut substansi sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari
belakang sebagaimana dari arah depan.” Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah
SWT menciptakan dua mata di arah belakang.
Sebagian berpendapat bahwa Allah SWT menjadikan kedua mata beliau yang di depan
memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi berpendapat
bahwa Allah SWT membalik obyek yang ada di belakang Nabi sehingga berada di depan
beliau. Semua ini adalah interpretasi berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan
keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di
hati manusia. Adapun keberadaan Nabi mampu melihat orang yang berada di belakang
sebagaimana melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah
disampaikan beliau sendiri dalam hadits shahih.
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan
menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara
dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan
cara menyaksikan salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor
penyebab untuk menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta
kedudukan Rasulullah SAW.
*Jibril menyamar sebagai Seorang lelaki (n_$_ _:   4_ ___2$)
Para ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran Jibril AS saat datang membawa
wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik Jibril sangat luar biasa besar.Sebagian
berpendapat bahwa Allah membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan
sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut
hemat saya interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril
menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah disaksikan
oleh banyak sahabat.
43
Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran Jibril dalam bentuk seorang
laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara kita sesama pelajar untuk menyampaikan
fakta ini tanpa perlu menyinggung perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini
tetap besar dan agung dalam hati.
PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan
menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya
akan kami jelaskan dulu point-point berikut :
1. Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu
untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya adalah Allah. Obyek yang
dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
2. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut
kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintainya.
Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling
menjauhinya dan paling membencinya.
3. Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk
bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya
sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya ia musyrik.
4. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan
dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah secara mutlak,
sebagaimana firman Allah yang artinya : "Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran." (Q.S.Al.Baqarah : 186),
Juga dalam firmanNya : "Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.
dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaa Al-Husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara
kedua itu." (Q.S.Al-Israa` : 110)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal
shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia
telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model
ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang
mengingkari hal ini. dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah
hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang
bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan
tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang
44
ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya
kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam
oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang
berjudul “Qaa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah”.
TITIK PERBEDAAN
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang
yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan : Ya
Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad SAW, atau dengan Abu Bakar,
Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul model inilah yang dilarang oleh
sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan
substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang
dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan
mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang
menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan
sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya
adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan
yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia
mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan,
kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia
meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang berjihad
di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang
dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : (F#D&_v2BIF_D_ E_F<v2BIF_) atau sifat-sifat di atas
seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan
keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu
adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya,
dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang
bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya
meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di
jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya
bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya,
agar Engkau melakukan seperti ini dan itu. Namun mayoritas kaum muslimin tidak
pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang
tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui
mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
45
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama
dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa
cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian
kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan
kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi.
Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul
sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan
dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan
mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.
@_ABCD @__D4E<F  _D)DG DHD&_DIE2F"
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah berfirman :
E__F7O__ E__F9D_6 DDJDAB"_D E__ B#AD_-B E__FaD4E __D D#L__ __)B O__ _D<v__D _D_
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah, dan carilah
wasilah kepadanya.”
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan
kepada Allah dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam
bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan
di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini
mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik
di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai
dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini
dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan
keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa
tawassul dengan Nabi sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat
dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW SEBELUM WUJUD DI
DUNIA
Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Di dalam sebuah hadits terdapat
keterangan bahwa Nabi Adam AS bertawassul dengan Nabi Muhammad. Dalam Al-
Mustadrok, Imam Al-Hakim berkata : Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu
menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori
menceritakan kepadaku, Abul Harits ‘Abdullah ibnu Muslim Al Fihri menceritakan
46
kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya
dari kakeknya dari Umar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda :
___ J! !.6__ :,_ __7V > 3_ __+t _  _ /     I_ hI  H_f"_ ! P___ : RA1%__ !.6 W_4__ _ _
H^__ __ 3O V U%+&_ q/A  39475 _         _ H&? ! P___ : ___ m #75_ ___ _n/         I_ UV_ _A]_
__ H&_ U      _V > ,_ __"_ /          I_ ,_ '- #_- ' _n _4__ .____ _0___ 8 U___V 3"__ U_V_
> 3O _- h%__ (^? #&- > !.6 __ U_/_ : ,_ __7V > HA_- h%__ (^_ '- H    "_ 8_- _e_
H475 __ /     I_ '___ > H_ __+t /7V #7I  39._
”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepada-Mu
dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam
bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai
Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatan-Mu dan Engkau
tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya
melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur
Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama-Mu kecuali nama
makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “ Benar kamu wahai Adam,
Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepada Ku dengan
haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak
akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al-Mustadrok dan menilainya
sebagai hadits shahih (jilid 2 hal. 615). Al-Hafidh As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitab
Al-Khashaa-is An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al
Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan
hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan
Az Zurqani dalam Al-Mawahib Al-Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih.
(jilid 1 hal. 62). As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits
shahih. Al-Hafidh Al-Haitami berkata, “At-Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam
Al-Awsath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.”
(Majma’uzzawaid jilid 8 hal. 253).
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi :
__9__ '_ J9=__ '_ !.6 U75 __ /       I_ '_V
Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan
neraka.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih).
Syaikhul Islam Al-Bulqini dalam Fataawaa-nya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini
juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al-Wafaa pada bagian awAl-Kitab dan
dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah (jilid 1 hlm. 180). Sebagian ulama tidak
sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan
memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz-Dzahabi dan pakar hadits lain.
Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai
hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara
dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra
berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek
47
sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan
keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai
Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi
Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakan–
nya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis)
‘Arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang
ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah
dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah
menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan melihat namaku. Lalu Allah
menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘Arsy) junjungan
anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan
memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaa-ilu An-Nubuwwah dan melalui
jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan
kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri,
menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn
Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
{_" 8 (4] .____ h5_ > ___    " s2" _G__SV c_       S__ 8_- Z_4"__ ;_?_ ,_ h5 _ _
3        "_ (4_V c__^_ !.6 _<9_"_ 34__ J9=__ ,_ h5_ > c_A2&?_ ___5 ,_ __"_ /          I_ .____
_C& 8____ ,_ *_A^_ _        V > /S=___ ____ _A  !.6_ > !_A%___ P_27___ {___?__ P__ ?_ 8
3        "_  __+Y4"__ _ __ __1AY__ _         G_t _  V > q/__ /A" #&- ,_ *_25fV 3        "_ Z__V .____ 8_-
#A_-
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku,
dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat
pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau
menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan
ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi
saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu.
Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab
Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika
tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa
hadits shahih. (Al-Fataawaa, jilid 2 hlm. 150). Pendapat saya, fakta ini menunjukkan
bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau
bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri
bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.
48
KOREKSI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP MAKNA PENGKHUSUSAN PADA
HADITS
Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan pandangan positif yang
mengindikasikan kecerdasan, kepandaian dan kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu
Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits Nabi menyangkut tema ini (sesuai
dengan informasi yang dimiliki pada saat itu) tetapi ia mencabut pandangan ini dan
menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya dengan tafsir yang rasional, dan
menetapkan kebenaran maknanya. Dengan fakta ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan
keras mereka yang beranggapan kandungan hadits mengandung kemusyrikan atau
kekufuran, dan mereka mengira bahwa kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta
mereka yang menilai bahwa kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian.
Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah faham, dan
kedangkalan fikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati kita dan membimbing
kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan jalan yang lurus.
Dalam Al-Fataawaa jilid 11 hlm 96 Ibnu Taimiyyah menulis sbb : Muhammad adalah
junjungan anak Adam, makhluk paling mulia dan mulia di sisi Allah. Karena itu ada
orang berpendapat bahwa karena beliau Allah menciptakan alam semesta atau kalau
bukan karena beliau Allah tidak akan menciptakan ‘Arsy, kursi, langit, bumi, matahari,
dan bulan. Tapi pandangan ini bukanlah hadits Nabi, baik shahih atau dlo’if dan tidak ada
seorang ulama pun yang mengutipnya sebagai hadits Nabi. Malah tidak juga bersumber
dari para sahabat. Ungkapan ini adalah ungkapan yang pengucapnya misterius dan bisa
ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman Allah yang artinya : "Tidakkah kamu
perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di
langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan."
(Q.S. Luqman : 20)
"Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar
di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungaisungai."
(Q.S. Ibrahim : 32)
Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”
(Q.S. Ibrahim : 32-33)
dan ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk untuk anak cucu
Adam. Sudah maklum, bahwa di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah
memiliki hikmah-hikmah lain yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di
49
dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat
yang tercakup di dalamnya.
Jika dikatakan : Allah melakukan sesuatu untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya
tidak ada hikmah lain. Demikian pula ucapan seseorang : Jika tidak karena ini maka
Allah tidak akan menciptakan itu, bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di
dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang
dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih yang paling utama, yakni Muhammad,
dimana penciptaan beliau adalah tujuan yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih
besar dari yang lain, maka kesempurnaan makhluk dan puncak kesempurnaan tercapai
dengan Muhammad SAW. Dikutip dari kitab Fataawaa.
ANALISA PENTING TERHADAP PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH YANG
HILANG DARI BENAK PARA PENGIKUTNYA
Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah, jauhnya 6si dan dalamnya pemahaman
beliau dalam memberikan interpretasi terhadap keistimewaan yang telah tersebar dan
populer ini. dalam masalah ini terdapat hadits yang menggambarkan tawassul Nabi
Adam, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dinilai shahih oleh mereka yang
mengkategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh mereka yang mengklasifikasikannya
sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar hadits yang menerimanya.
Cobalah dengarkan Ibnu Taimiyyah sendiri mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini
memiliki sudut pandang yang benar.” Di manakah posisi pendapat Ibnu Taimiyyah ini
dari pendapat orang yang mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan mengeluarkan
mereka yang berpendapat seperti Ibnu Taimiyyah dari lingkaran Islam, menuduh mereka
sesat dan musyrik atau bid’ah dan khurafat kemudian dengan bohong mengklaim sebagai
pengikut madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu
Taimiyyah dan kaum salaf. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan
di atas saja. Justru yang jadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu Taimiyyah dalam
semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut pengagungan terhadap
Rasulullah SAW atau menguatkan kemuliaan, keagungan dan kedudukan beliau. Karena
dalam hal-hal ini ia akan ragu, berfikir dan merenung. Dari sini, akan tampak padanya
sikap protektif terhadap status tauhid atau fanatisme terhadap tauhid.
_AC __4<  _)G H&_I2"
*Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
Hadits ketiga yang mendukung hadits tawassul Adam adalah hadits yang dikeluarkan
oleh Ibnu Al-Mundzir dalam tafsirnya, dari Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain AS, ia
berkata, “Ketika Adam tertimpa kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril
datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu
taubat yang Allah menerima taubatmu darinya?”,“Mau, wahai Jibril.”,“Berdirilah di
tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu agungkanlah Dia dan berikanlah Dia
pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pujian.”
“Apa yang harus saya ucapkan, wahai Jibril?”,“Ucapkanlah : Tiada Tuhan kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang
50
menghidupkan dan mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala
kebaikan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Selanjutnya akuilah kesalahanmu
dan bacalah : Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain
Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dan
berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali
Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan perantara kedudukan
Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di sisi-Mu, agar Engkau mengampuni
kesalahanku. Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan perintah Jibril. “Wahai Adam,
siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah.“Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika
Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya berdiri sebagai manusia sempurna
yang bisa mendengar, melihat, berfikir dan merenung, maka saya melihat pada kaki
‘arsy-Mu terdapat tulisan : Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad utusan Allah. Karena
saya tidak melihat nama malaikat muqarrab (yang didekatkan) dan Nabi rasul lain selain
Muhammad, sesudah nama-Mu, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk
paling mulia di sisi-Mu. “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan telah
mengampunimu.” Dikutip dari Ad-Durr al-Mantsuur jilid 1 hlm. 146.
Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakr al Baqir, salah satu tabi’in terpercaya
dan tokoh mereka. Enam Imam hadits meriwayatkan hadits darinya. Ia meriwayatkan
hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain RA.
*Hadits Pendukung Keempat untuk Hadits Tawassul
Hadits keempat pendukung tawassul Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar Al-Aajuri
dalam Kitab As-Syarii’ah. Ia berkata, “Harun ibn Yusuf At-Tajir bercerita kepadaku.”
Harun berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata,
“Abu ‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdirrahman ibn Abi Az-Zinaad
dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang dengannya Allah
menerima taubat Adam adalah : Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan
kemuliaan Muhammad padaMu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad ?”
“Ya Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada ‘arsy-Mu
: Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah. Maka saya tahu, ia adalah
makhluk-Mu yang paling mulia.” Jawab Adam. Sebagaimana diketahui penggabungan
atsar ini pada haditsnya ‘Abdirrahman ibn Zaid membuat hadits ini kuat.
*Surga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw Memasukinya
Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah bahwa sorga
haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad sebagaimana tercantum
dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al Khaththab RA dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda :
34__ _<5/_ 84^ __?_ 8 U__^_ c_A2&?_ 8 U__^ J9=__
“Surga diharamkan untuk para Nabi sampai aku masuk ke dalamnya dan diharamkan
untuk semua ummat sampai ummatku masuk ke dalamnya.”
(HR At-Thabarani dalam Al-Awsath). Menurut Al-Haitsami isnad hadits ini hasan.
(Dikutip dari Majma’ul Zawaa’id jilid 10 hlm. 69).
51
*Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama Muhammad SAW
Salah satu contoh karunia Allah adalah menyebarnya nama Muhammad di Al-Mala’ al-
A’laa (alam Malaikat muqarrabun) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ab ibn
Al-Akhbaar berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan tongkat kepada Adam
sebanyak jumlah para Nabi dan rasul. Lalu Adam mendatangi putranya, Syits dan
berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat
ini dengan membangun ketaqwaan dan ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut
Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad. Karena aku melihat namanya tertulis pada
kaki ‘Arsy pada saat aku dalam kondisi antara roh dan tanah liat. Kemudian aku
menjelajahi langit. Pada setiap tempat di langit aku melihat nama Muhammad tertulis
padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di sorga dan di sorga aku tidak melihat
istana dan kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di situ. Dan saya juga melihat
namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun bambu belukar sorga, daun pohon thuba,
daun sidratul muntaha, di tepi-tepi hijab dan di antara mata para malaikat. Perbanyaklah
menyebut nama Muhammad karena para malaikat selalu menyebut namanya setiap
waktu.” (Al-Mawaahib al-Laduniyyah jilid 1 hlm. 187). Dalam syarhnya Az-Zurqaani
mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.”
Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah menyebut hadits di atas. “Terdapat riwayat
bahwa Allah SWT telah menulis nama Muhammad di atas ‘Arsy, pintu, kubah, dan
dedaunan sorga.” tulis Ibnu Taimiyyah. Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah
diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas yang
menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggaan nama beliau.
Dalam salah satu riwayat dari Ibnul Jauzi dari Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan
naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy
maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘Arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul
Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu
Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada
antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan
melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang
tercatat pada ‘Arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan,
kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
(Al-Fataawaa jilid 2 hlm 150).
*Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits Tawassul Adam :
Dalam hadits di atas, menegaskan tawassul dengan Rasulullah SAW sebelum alam
semesta mendapat kehormatan dengan keberadaan beliau dan bahwa tolok ukur
keabsahan tawassul ialah bahwa orang yang dijadikan obyek tawassul harus memiliki
kedudukan tinggi di sisi Allah, serta tidak disyaratkan ia masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini yang menyatakan tawassul dengan siapapun
tidak sah kecuali saat ia masih hidup di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti
hawa nafsunya tanpa mendapat hidayah Allah.
52
*Kesimpulan Dari Analisa Terhadap Status Hadits Tawassul Adam :
Kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut dikategorikan hadits shahih sebab eksistensi
hadits-hadits pendukung, dan dikutip oleh elite-elite ulama dan para pakar (a-immah)
hadits dan penghapalnya yang memiliki posisi luhur dan kedudukan tinggi. Mereka
adalah orang-orang yang kuat menyangkut As-Sunnah An-Nabawiyyah seperti Al-Hakim,
As-Suyuthi, As-Subki dan Al-Bulqini.
Hadits tersebut juga dikutip oleh Al-Bulqini dalam kitabnya yang mensyaratkan tidak
akan mengeluarkan hadits maudlu’, dan dikomentari oleh Adz-Dzahabi dengan,
“Berpeganglah dengannya, karena kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” ( dikutip
dari Syarhul Mawahib dan kitab lain ).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah dan dijadikan
argumentasi oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al-Fataawaa. Adapun pro kontra dari para
‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal yang aneh. Karena banyak hadits yang
menimbulkan polemik lebih besar dan mendapat kritikan lebih tajam.
Berangkat dari pro kontra ini, munculah karangan-karangan besar yang berisi
argumentasi, penelitian, peninjauan, dan kecaman. Namun tidak sampai melontarkan
tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan
menyangkut status salah satu dari beberapa hadits. Dan hadits tawassul Adam ini,
termasuk hadits-hadits yang memicu perbedaan itu.
 

CERPEN ISLAMI

UNTUK UMUM

KARYA PRIBADI @af

SILAHKAN KUNJUNGI: http//:cepatkreatif.blogspot.com

LP3S

Lembaga Penerbitan Pp. Syaichona MOh. Cholil.