PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN
BID’AH
LUGHAWIYYAH
Sebagian ulama mereka mengkritik
pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan
tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang
berpendapat demikian. Malah
sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat
disebabkan berlawanan dengan sabda
Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat.
Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman
dan menggambar–kan bid’ah sebagai sesat.
Karena itu Anda akan melihat ia berkata :
Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik
risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah
sah ungkapan : akan datang seorang
mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu
ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap
bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu
sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk.
Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat
terpedaya. Mereka ikut berteriak dan
ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang
yang tidak memahami tujuan-tujuan
syari’ah dan tidak merasakan spirit agama
Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan
jalan untuk memecahkan
permasalahan yang mereka hadapi dan kondisi
zaman yang mereka hadapi juga
menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan
perantara lain. Yang jika tanpa
perantara ini mereka tidak akan bisa makan,
minum dan diam. Malah tidak akan
bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah
serta berhubungan dengan dirinya,
keluarga, saudara dan masyarakatnya.
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan
dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah
terbagi menjadi dua ; (1) bid’ah diiniyyah (keagamaan)
dan (2) bid’ah duniawiyyah
(keduniaan). Subhanallah, mereka yang
suka bermain-main ini membolehkan
menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal
telah membuat nama tersebut. Jika kita
setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era
kenabian namun pembagian ini, diiniyyah
dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada
dalam era pembuatan undang-undang kenabian.
Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana
nama-nama baru ini datang ?
35
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke
yang baik dan buruk itu tidak bersumber
dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa
pembagian bid’ah ke bid’ah diiniyyah
yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah
yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan
mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah SAW
sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah
itu sesat. Demikianlah beliau
mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak,
tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi
bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diiniyyah
yang sesat dan duniawiyyah yang tidak
mengandung konsekuensi apa-apa. Karena itu
harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan
penting yang dengannya banyak keganjilan
akan menjadi jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah
Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan
syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus
menggunakan standar syar’i yang
dibawa Syaari’. Jika Anda telah
mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap
hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh
sebelumnya maka jangan sampai lenyap
dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang
tercela di sini adalah penambahan
dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi
urusan agama, dan menambahi syari’at
agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.
Lalu akhirnya tambahan itu menjadi
syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada
pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah
yang mendapat ancaman dari Nabi SAW :
_<V #9_ rA_ __ _._ )G _&___ 3V _/^_ __
"Barangsiapa menciptakan dalam urusan
(agama) kami (_)G _&___ 3V), hal baru yang
bukan (rA_ __) bagian darinya (#9_), maka ia
tertolak."
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah
kalimat (_)G _&___ 3V). Oleh karena itu
pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang
baik dan buruk dalam persepsi kami hanya
berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau
dari segi bahasa. Yakni, sekedar
menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu
bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak
lain adalah sesat dan fitnah yang tercela,
tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang
menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan
ini maka akan tampak bagi
mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu
dekat dan sumber persengketaan itu
jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa
pemahaman, saya melihat mereka yang
mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah
hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya
mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan
syara’, dengan bukti mereka membagi
bid’ah dalam bid’ah diiniyyah dan duniawiyyah,
dan penilaian mereka bahwa pembagian
ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah
dan sayyi’ah memandang bahwa
pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah
dari aspek bahasa. Sebab mereka
mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan
syari’at adalah kesesatan dan
perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini
tidak diragukan lagi di mata mereka.
Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti
perbedaan antara dua kelompok ini
tidaklah substansial.
Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang
mengingkari pembagian bid’ah
menjadi hasanah dan sayyi’ah dan
yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah
diiniyyah dan duniawiyyah tidak
mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat.
36
Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa
bid’ah diiniyyah itu sesat, –ini adalah
pendapat yang benar– dan bid’ah duniawiyyah tidak
ada konsekuensi apapun, mereka
telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab
dengan sikap ini mereka memvonis semua
bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini
jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan
fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini
wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara
mendetail.
Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah
ada yang baik dan ada yang buruk
sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak
diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh.
Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk
mendapatkan pengertian yang tepat,
cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang
berpendapat bahwa bid’ah terbagi
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang
dimaksud bid’ah di sini sudah jelas
adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana
telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam
pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah
duniawiyyah oleh mereka yang ingkar
terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan
sayyiah.
Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan
sayyiah adalah pendapat yang sangat
cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini
mengumandangkan kepada setiap hal baru
untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah
agama, dan mengharuskan kaum
muslimin untuk menyelaraskan semua urusan
dunia, baik yang bersifat umum atau
khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui
hukum Islam yang terdapat di
dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap
semacam ini tidak mungkin
direalisasikan kecuali dengan
mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat
pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga
Allah meridloi para aimmatul ushul dan
meridloi kajian mereka terhadap lafadz-lafadz
yang shahih dan mencukupi yang
mengantar menuju pengertian-pengertian yang
benar, tanpa pengurangan, perubahan atau
interpretasi.
AJAKAN PARA IMAM TASHAWWUF UNTUK
MENGAPLIKASIKAN
SYARIAH
Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan
senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang
bersikap adil dalam menyikapinya. Justru
sebagian kalangan dengan keterlaluan dan
tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar
karakter negatif yang mengakibatkan
gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil,
dengan mengatakan, “Fulan bukan orang
yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.”
Mengapa ? Karena ia seorang
sufi. Anehnya, saya melihat sebagian mereka
yang menghina tashawwuf, menyerang dan
memusuhi pengamal tashawwuf bertindak
dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian
tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf
dalam khutbah dan ceramahnya
di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi
pengajaran.
Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan,
“Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid,
Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi,
Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.” Fudlail ibn
‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl
Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi
adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang
kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan,
informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter
mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia
37
bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura
buta? Saya ingin mengutip pandangan
para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah
Islam agar kita mengetahui sikap mereka
sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui
seseorang lewat pribadinya sendiri dan
manusia adalah orang terbaik yang berbicara
mengenai pandangannya dan yang paling
dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
Al-Imam Junaid RA berkata : “ Semua
jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang
yang mengikuti jejak Rasulullah,
sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau.
Karena semua jalan kebaikan terbuka
untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak
beliau.
”Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu
Yazid Al-Bustomi suatu hari berbicara
pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk
melihat orang mempopulerkan
dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan
murid-muridnya berangkat untuk mendatangi
wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak
menuju masjid dan meludah ke arah kiblat.
Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi
salam. “ Orang ini tidak dapat
dipercaya atas satu etika dari beberapa etika
Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia
dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan
para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu
Yazid. Dzunnuun Al-Mishri berkata, "Poros
dari segala ungkapan (Madaarul Kalam) ada
empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung,
benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-
Quran, dan khawatir berubah menjadi orang
celaka.
Salah satu indikasi orang yang cinta kepada
Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw
dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan
sunnahnya." As-Sirri As-Siqthi berkata,
“Tashawwuf adalah identitas untuk tiga
makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah
orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan
cahaya wara’nya, tidak berbicara
menggunakan bathin menyangkut ilmu yang
bertentangan dengan pengertian lahiriah Al-
Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak
mendorong untuk menyingkap tabir-tabir
keharaman Allah.
Abu Nashr Bisyr ibn Al-Harits Al-Hafi berkata,
“ Saya bermimpi bertemu Nabi SAW. “
Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah
meninggikan derajatmu mengalahkan temantemanmu?
Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,”
Jawabku. “ Sebab Engkau
mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang
salih, memberi nasihat pada temantemanmu
dan kecintaanmu kepada para sahabat dan
keluargaku. Inilah faktor yang
membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik
(Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata,
“Sungguh terlintas di hatiku untuk
memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan
dan biaya perempuan, kemudian
saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini
kepada Allah padahal Rasulullah
tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya
tidak memohon ini kepada Allah.
Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan
hingga saya tidak peduli, apakah
perempuan menghadapku atau tembok.
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau
memandang seorang laki-laki diberi
beberapa karomah hingga ia mampu terbang di
udara, maka janganlah engkau tertipu
38
sampai engkau melihat bagaimana sikapnya
menghadapi perintah dan larangan Allah,
menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan
pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani
berkata, “Terkadang, selama beberapa
hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa
noktah masyarakat. Saya tidak menerima
isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi
adil ; Al-Qur’an dan As-Sunnah. Abul Hasan
Ahmad ibn Abil Hawaari berkata, “Siapapun yang mengerjakan
perbuatan tanpa
mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu
sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad berkata,
“Barangsiapa yang tidak mengukur
semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab
dan As-Sunnah, dan tidak berburuk
sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya,
maka janganlah ia dimasukkan dalam
daftar para tokoh besar (Diwaan Ar-Rijaal).
Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata,
“Siapapun yang tidak memperhatikan
Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia
tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini
(tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi
dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”Ia juga berkata,
“ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip
Al-Kitab dan As-Sunnah dan ilmuku ini
dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi berkata,
“Saat sikap Abu Utsman berubah, maka
anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang
melekat pada tubuhnya, lalu Abu
‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai
Anakku, mempraktekkan sunnah dalam
penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan
batin.”Ia juga berkata, “Bersahabat
dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur
dan senantiasa takut kepada-Nya.
Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan
mengikuti sunnahnya dan senantiasa
mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan
para wali dengan menghormati dan
mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan
budi pekerti yang baik. Bersahabat
dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa
bermuka manis sepanjang bukan perbuatan
dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu
dengan mendoakan dan rasa belas kasih. Ia
juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan
As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam
ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara
dengan hikmah. Dan barangsiapa
memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya
dalam ucapan dan tindakan maka ia akan
berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman
yang Artinya : "Jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk." (Q.S. An-Nuur : 54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi
mengatakan, “Jika engkau melihat
orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang
membuatnya terlepas dari batasan
ilmu syari’at maka janganlah engkau
mendekatinya.”Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-
Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan
matanya dari hal-hal yang diharamkan,
mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan
bathinnya dengan senantiasa
merasakan kehadiran Allah (muraqabat)
dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan
mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan
barang halal, maka firasatnya tidak
akan meleset.”
39
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn
‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa
menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika
syari’at maka Allah akan menerangi
hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi
kedudukan mengikuti Al-Habib
Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan
dan budi pekerti beliau SAW.” Ia juga
mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku
carilah pada belantara syari’at. Jika
engkau tidak menemukannya, carilah di medan
hikmah. Jika tidak menemukannya,
takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak
menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka
lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan,
“Siapapun yang mengetahui jalan
Allah maka Dia akan memudahkan untuk
menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan
menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW
dalam sikap, tindakan dan ucapan
beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan,
“ Indikator cinta kepada Allah
adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah
dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”
Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid
adalah selalu dalam menghormati
masyayikh (guru), membantu kawan-kawan,
terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan
menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada
seseorangpun yang menelantarkan salah
satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan
musibah dengan menyia-nyiakan
sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah
seseorang dengan menelantarkan sunnah
kecuali ia hendak diberi musibah dengan
bid’ah.”
SUBSTANSI KELOMPOK IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI
(AL-ASYAA’IRAH)
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab
Al-Asya’irah (kelompok ulama
penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak
mengetahui siapakah mereka, dan metode
mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan,
tanpa apriori, malah menilai mereka
sesat atau telah keluar dari Islam dan menyimpang
dalam memahami sifat-sifat
Allah. Ketidaktahuan terhadap madzhab
Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan
kelompok ahlussunnah dan terpecah-pecahnya
persatuan mereka, sehingga sebagian
kalangan yang bodoh memasukkan Al-Asya’irah
dalam daftar kelompok sesat.
Saya tidak habis pikir, mengapa kelompok yang
beriman dan kelompok sesat disatukan?
Dan mengapa ahlussunnah dan kelompok ekstrim
Mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?.
"Maka Apakah patut Kami menjadikan
orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang
yang berdosa (orang kafir)."
(Q.S. Al-Qalam : 35). Al-Asya’irah adalah para imam
simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin
yang ilmu mereka memenuhi bagian timur
dan barat dunia dan semua orang sepakat atas
keutamaan, keilmuan dan keagamaan
mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah
yang menentang
kesewenang-wenangan Mu’tazilah.
40
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
Al-Asya’irah digambarkan sbb : Para ulama
adalah pembela ilmu agama dan Al-Asya’irah
pembela dasar-dasar agama (ushuluddin).
Al-Fataawaa, jilid 4. Al-Asyaa’irah
(penganut madzhab Al-Asy’ari) terdiri dari
kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan
ahli tafsir seperti :
• Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani,
yang tidak disangsikan lagi sebagai
gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathul
Baari ‘ala Syarhil Bukhaari.
• Syaikhul Ulama Ahlissunnah, Al-Imam
An-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim,
dan penyusun banyak kitab populer.
• Syaikhul Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi
penyusun tafsir Al-Jaami’ li Ahkaamil
Qur’an.
• Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami,
penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil
Kabaa’ir.
• Syaikhul Fiqh , Al-Ahujjah Ats-Tsabat (Hujjah
Terpercaya ) Zakaaria Al-Anshari.
• Al-Imam Abu Bakar Al-Baaqilani
• Al-Imam Al-Qashthalani.
• Al-Imam An-Nasafi
• Al-Imam Asy-Syarbini
• Abu Hayyan An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru
Al-Muhith.
• Al-Imam Ibnu Juza, penyusun At-Tashil fi
‘Uluumittanziil.
• Dsb.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar
dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari
kalangan Al-Asyaa’irah, maka keadaan tidak akan
memungkinkan dan kita
membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai
nama para ulama besar yang ilmu
mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi.
Adalah salah satu kewajiban kita untuk
berterimakasih kepada orang-orang yang telah
berjasa dan mengakui keutamaan orangorang
yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para
tokoh ulama, yang telah
mengabdi kepada syari’at junjungan para rasul
Muhammad SAW.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita
menuding para ulama besar dan generasi
salaf shalih telah menyimpang dan sesat ?
Bagaimana Allah akan membukakan mata hati
kita untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka
bila kita meyakini mereka telah
menyimpang dan tersesat dari jalan Islam? Saya
ingin bertanya, “Adakah dari para ulama
sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang
jenius, yang telah mengabdi kepada
hadits Nabi SAW sebagaimana dua imam besar ;
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan Al-Imam
An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan
keridloan kepada mereka berdua.”
Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua
dan ulama Al-Asyaa’irah yang lain,
padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ?
Mengapa kita mengambil ilmu dari
mereka jika mereka memang sesat? Padahal
Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah
berkata : Ilmu hadits ini adalah agama maka
perhatikan dari siapa kalian mengambil
agama kalian. Apakah tidak cukup bagi orang
yang tidak sependapat dengan para imam
di atas, untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah
telah berijtihad dan mereka salah
dalam menafsirkan sifat-sifat Allah.
41
Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti
metode mereka.” Sebagai ganti dari
ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang
dan sesat dan kami marah atas orang
yang mengkategorikan mereka sebagai
ahlussunnah. Bila Al-Imam An-Nawawi, Al-
‘Asqalani, Al-Qurthubi, Al-Fakhrurrazi,
Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari dan ulama
besar lain tidak dikategorikan sebagai
ahlussunnah wal jama’ah, lalu siapakah mereka
yang termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah?.Sungguh,
dengan tulus kami mengajak semua
pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan
dakwah Islam untuk takut kepada
Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya
menyangkut tokoh-tokoh besar
ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap
dalam kondisi baik hingga tiba hari
kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika
tidak mengakui kedudukan dan keutamaan
para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara ulama menyangkut
banyak substansi persoalan dalam
bidang aqidah, yang Allah tidak membebani kita
untuk mengkajinya. Dalam pandangan
saya polemik ini telah menghilangkan keindahan
dan keagungan substansi masalah ini.
Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut
melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan
bagaimana cara melihatnya, dan perbedaan yang
luas antara mereka menyangkut
persoalan ini. sebagian berpendapat Nabi
melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian
berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini
sama-sama mengajukan argumentasi dan
membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak
berguna.
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak
berguna sama sekali. Justru menimbulkan
dampak negatif yang lebih besar dibanding
manfaat yang didapat. Apalagi jika
masyarakat awam mendengar polemik yang pasti
menimbulkan keragu-raguan di hati
mereka ini. Jika kita mau mengesampingkan
polemik ini dan menganggap cukup dengan
menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya
maka niscaya persoalan ini tetap
dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum
muslimin, dengan cara kita mengatakan
bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya. Cukup
kita berkata demikian sedangkan
menyangkut cara melihat dan lain sebagainya
biarlah menjadi urusan Nabi.
(_ A__
8"__ ,_ _]_) *
Salah satu substansi persoalan di atas adalah
polemik yang berkembang di antara para
ulama menyangkut substansi firman Allah SWT dan
perbedaan luas dalam masalah ini.
sebagian berpendapat bahwa firman Allah adalah
suara hati (kalam nafsi) dan sebagian
lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan
bersuara. Saya sendiri berpendapat
kedua pihak ini sama-sama mencari substansi
mensucikan Allah dan menjauhi syirik
dalam berbagai bentuknya.
Persoalan kalam (firman Allah) adalah kebenaran
yang tidak bisa diingkari, karena tidak
meniadakan kesempurnaan ilahi. Ini adalah
pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari
aspek lain, sifat-sifat Allah yang terdapat
dalam Al-Qur’an wajib dipercayai dan
ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui
Allah kecuali Allah sendiri. Apa yang saya
yakini dan saya ajak adalah menetapkan
kebenaran ini tanpa perlu membicarakan
42
bagaimana cara dan bentuknya. Kita tetapkan
bahwa Allah memiliki sifat kalam dan
berkata : Ini adalah kalam Allah dan Allah SWT
adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup
berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji
apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam
yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau
tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang
Nabi Muhammad sebagai pembawa
tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu
mengapa kita menambahkan apa yang
datang dibawa oleh Nabi ? Bukankah hal semacam
ini adalah salah satu bid’ah terburuk ?
Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita
tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan
beliau di sisi Allah SWT.
Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya
menyangkut substansi kalam dan
masalah sejenis terlepas dari pembahasan
mengenai cara dan bentuknya
(3+5 __ _]___ 3&-)
*”Saya Mampu Melihatmu dari Belakang.”
Salah satu substansi persoalan di atas adalah
polemik yang terjadi di antara ulama
menyangkut substansi sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya
saya bisa melihat kalian dari
belakang sebagaimana dari arah depan.”
Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah
SWT menciptakan dua mata di arah belakang.
Sebagian berpendapat bahwa Allah SWT menjadikan
kedua mata beliau yang di depan
memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian
belakang. Sebagian lagi berpendapat
bahwa Allah SWT membalik obyek yang ada di
belakang Nabi sehingga berada di depan
beliau. Semua ini adalah interpretasi
berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan
keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan
kewibawaan dan keagungannya di
hati manusia. Adapun keberadaan Nabi mampu
melihat orang yang berada di belakang
sebagaimana melihat orang yang ada di depan
maka ini adalah fakta yang telah
disampaikan beliau sendiri dalam hadits shahih.
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk
membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan
menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta
ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara
dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkinan
terjadinya dan dampaknya, dengan
cara menyaksikan salah satu hal yang di luar
kebiasaan yang meminggirkan faktor
penyebab untuk menampakkan kekuasaan Allah Yang
Maha Esa dan Maha Perkasa serta
kedudukan Rasulullah SAW.
*Jibril menyamar sebagai Seorang lelaki (n_$_ _: 4_ ___2$)
Para ulama bersilang sengketa menyangkut
penyamaran Jibril AS saat datang membawa
wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik
Jibril sangat luar biasa besar.Sebagian
berpendapat bahwa Allah membuang kelebihan dari
fisiknya. Sebagian lain menyatakan
sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain
sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut
hemat saya interpretasi ini tidak berguna. Saya
meyakini Allah mampu membuat Jibril
menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini
merupakan fakta yang telah disaksikan
oleh banyak sahabat.
43
Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara
penyamaran Jibril dalam bentuk seorang
laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara
kita sesama pelajar untuk menyampaikan
fakta ini tanpa perlu menyinggung
perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini
tetap besar dan agung dalam hati.
PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi
tawassul. Karena itu kami akan
menjelaskan pengertian tawassul yang benar
dalam pandangan kami. Namun sebelumnya
akan kami jelaskan dulu point-point berikut :
1. Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan
salah satu pintu dari pintu-pintu
untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya
adalah Allah. Obyek yang
dijadikan tawassul berperan sebagai mediator
untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan
ini berarti ia telah musyrik.
2. Orang yang melakukan tawassul tidak
bertawassul dengan mediator tersebut
kecuali karena ia memang mencintainya dan
meyakini bahwa Allah mencintainya.
Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia
akan menjadi orang yang paling
menjauhinya dan paling membencinya.
3. Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa
media yang dijadikan untuk
bertawassul kepada Allah itu bisa memberi
manfaat dan derita dengan sendirinya
sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya
ia musyrik.
4. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan
terkabulnya do’a tidaklah ditentukan
dengannya. Justru yang asli adalah berdoa
kepada Allah secara mutlak,
sebagaimana firman Allah yang artinya : "Dan
apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam
kebenaran." (Q.S.Al.Baqarah :
186),
Juga dalam firmanNya : "Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.
dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai Al-Asmaa Al-Husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara
kedua itu." (Q.S.Al-Israa` : 110)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang
menolak keabsahan tawassul dengan amal
shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat,
membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia
telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan,
dan sedekahnya. Malah tawassul model
ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan
terkabulnya harapan. Tidak ada yang
mengingkari hal ini. dalil diperbolehkannya tawassul
dengan amal shalih adalah sebuah
hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang
terperangkap dalam goa. Salah seorang
bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua
orangtua, yang lain dengan
tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan
itu terbuka lebar, dan yang
44
ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta
orang lain dan menyerahkan seluruhnya
kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan
persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan
dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam
oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam
kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang
berjudul “Qaa’idah Jalilah fit Tawassul wal
Wasilah”.
TITIK PERBEDAAN
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah
tawassul dengan selain amal orang
yang bertawassul, seperti tawassul dengan
dzat atau orang dengan mengatakan : Ya
Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad
SAW, atau dengan Abu Bakar,
Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul
model inilah yang dilarang oleh
sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul
sekedar formalitas bukan
substansial. Karena tawassul dengan dzat
pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang
dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati
merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang
keras kepala melihat persoalan dengan
mata hati niscaya persoalan menjadi jelas,
keruwetan terurai dan fitnah yang
menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis
kaum muslimin telah musyrik dan
sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul
dengan orang lain pada dasarnya
adalah bertawassul dengan amal perbuatannya
sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan
yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang
bertawassul dengan siapa pun itu karena ia
mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut.
Karena ia meyakini keshalihan,
kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk
prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia
meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul
itu mencintai Allah SWT, yang berjihad
di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa
Allah SWT mencintai orang yang
dijadikan tawassul, sebagaimana firman
Allah : (F#D&_v2BIF_D_ E_F<v2BIF_) atau sifat-sifat di atas
seluruhnya berada pada orang yang dijadikan
obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda
akan menemukan bahwa rasa cinta dan
keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan
orang yang bertawassul. Karena hal itu
adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya,
yang dinisbatkan kepada dirinya,
dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat
pahala karenanya. Orang yang
bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya
Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya
meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang
ikhlas kepadaMu dan berjihad di
jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan
Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya
bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku
kepadanya dan dengan keyakinanku padanya,
agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak
pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup
dengan kemaha-tahuan Dzat yang
tidak samar baginya hal yang samar, baik di
bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui
mata yang berkhianat dan isi hati yang
tersimpan.
45
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama
dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya
bertawassul kepada-Mu dengan rasa
cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang
pertama tidak akan berkata demikian
kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya
kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan
kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia
tidak akan bertawassul dengan Nabi.
Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi
dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa
pro kontra masalah tawassul
sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu
berdampak perpecahan dan perseteruan
dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap
orang-orang yang bertawassul dan
mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.
@_ABCD @__D4E<F _D)DG DHD&_DIE2F"
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM
MUSLIMIN
Allah berfirman :
E__F7O__ E__F9D_6 DDJDAB"_D E__ B#AD_-B
E__FaD4E __D D#L__ __)B O__ _D<v__D _D_
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kalian kepada Allah, dan carilah
wasilah kepadanya.”
Wasilah adalah segala sesuatu yang
dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan
kepada Allah dan sebagai media untuk mencapai
kebutuhan. Parameter dalam
bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah
itu memiliki kedudukan dan kemuliaan
di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-wasilah dalam ayat di atas
bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini
mencakup tawassul dengan sosok-sosok
mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik
di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan
melakukan amal shalih sesuai
dengan ketentuannya. Tawassul dengan
amal shalih ini dilakukan setelah amal ini
dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar
terdapat keterangan yang menjelaskan
keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan
seksama agar anda bisa melihat bahwa
tawassul dengan Nabi sebelum wujudnya beliau
dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat
dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di
hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW SEBELUM WUJUD
DI
DUNIA
Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.
Di dalam sebuah hadits terdapat
keterangan bahwa Nabi Adam AS bertawassul
dengan Nabi Muhammad. Dalam Al-
Mustadrok, Imam Al-Hakim berkata : Abu
Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu
menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu
Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori
menceritakan kepadaku, Abul Harits ‘Abdullah
ibnu Muslim Al Fihri menceritakan
46
kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam
menceritakan kepadaku, dari ayahnya
dari kakeknya dari Umar RA, ia berkata:
Rasulullah Saw bersabda :
___ J! !.6__ :,_ __7V > 3_ __+t _ _ / I_
hI H_f"_ ! P___ : RA1%__ !.6 W_4__
_ _
H^__ __ 3O V U%+&_ q/A 39475 _ _
H&? ! P___ : ___ m #75_ ___ _n/ I_
UV_ _A]_
__ H&_ U _V
> ,_ __"_ / I_ ,_ '- #_-
' _n _4__ .____ _0___ 8 U___V 3"__ U_V_
> 3O _- h%__ (^? #&- > !.6 __ U_/_ :
,_ __7V > HA_- h%__ (^_ '- H "_
8_- _e_
H475 __ / I_
'___ > H_ __+t /7V #7I 39._
”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya
Tuhanku, Aku mohon kepada-Mu
dengan haqqnya Muhammad agar Engkau
mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam
bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku
belum menciptakanya. “ Wahai
Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku
dengan kekuatan-Mu dan Engkau
tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka
aku tengadahkan kepalaku lalu saya
melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa
Ilaha illa Allahu Muhammadur
Rasulullah”, maka saya yakin Engkau
tidak menyandarkan nama-Mu kecuali nama
makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam.
“ Benar kamu wahai Adam,
Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai.
Berdo’alah kepada Ku dengan
haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya
tanpa Muhammad, Aku tidak
akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam
kitab Al-Mustadrok dan menilainya
sebagai hadits shahih (jilid 2 hal. 615). Al-Hafidh
As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitab
Al-Khashaa-is An Nabawiyah dan
mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al
Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail
Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan
hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan
dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan
Az Zurqani dalam Al-Mawahib Al-Laduniyah juga
menilainya sebagai hadits shahih.
(jilid 1 hal. 62). As Subuki dalam kitabnya
Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits
shahih. Al-Hafidh Al-Haitami berkata,
“At-Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam
Al-Awsath dan di dalam hadits tersebut
terdapat rawi yang tidak saya kenal.”
(Majma’uzzawaid jilid 8 hal. 253).
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu
‘Abbas dengan redaksi :
__9__ '_ J9=__ '_ !.6 U75 __ / I_ '_V
“Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan
menciptakan Adam, surga dan
neraka.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
dengan isnad yang menurutnya shahih).
Syaikhul Islam Al-Bulqini dalam Fataawaa-nya
juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini
juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al-Wafaa
pada bagian awAl-Kitab dan
dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah (jilid
1 hlm. 180). Sebagian ulama tidak
sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu
mengomentari statusnya, menolaknya dan
memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’)
seperti Adz-Dzahabi dan pakar hadits lain.
Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan
sebagian lagi menganggapnya sebagai
hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak
bahwa para pakar hadits tidak satu suara
dalam menilainya. Karena itu persoalan ini
menjadi polemik antara yang pro dan kontra
berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status
hadits. Ini adalah kajian dari aspek
47
sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek
makna, maka mari kita simak penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits
tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua
hadits seraya berargumentasi dengan
keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu
al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai
Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi
Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik
ke atas langit dan menyempurnakan–
nya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy
maka Allah menulis di atas kaki (betis)
‘Arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul
Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang
ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia
menulis namaku pada pintu, daun, kubah
dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara
ruh dan jasad. Ketika Allah
menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan
melihat namaku. Lalu Allah
menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang
tercatat pada ‘Arsy) junjungan
anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh
syetan, keduanya bertaubat dan
memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaa-ilu
An-Nubuwwah dan melalui
jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan
kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan
kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan
kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri,
menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail
al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn
Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab,
ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
{_" 8 (4] .____ h5_ > ___ " s2" _G__SV c_ S__ 8_- Z_4"__ ;_?_ ,_ h5 _ _
3 "_
(4_V c__^_ !.6 _<9_"_ 34__ J9=__ ,_ h5_ > c_A2&?_ ___5 ,_
__"_ / I_ .____
_C& 8____ ,_ *_A^_ _ V > /S=___ ____ _A
!.6_ > !_A%___ P_27___ {___?__ P__ ?_ 8
3 "_ __+Y4"__ _ __ __1AY__ _ G_t _ V
> q/__ /A" #&- ,_ *_25fV 3 "_
Z__V .____ 8_-
#A_-
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia
mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku,
dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,”
ujar Adam. Lalu Adam mendapat
pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah
Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau
menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan
kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan
ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha
illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi
saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau
yang paling mulia di sisi-Mu.
Karena Engkau merangkai namanya dengan
nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab
Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad
Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika
tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan
keduanya seperti tafsir atas beberapa
hadits shahih. (Al-Fataawaa, jilid 2
hlm. 150). Pendapat saya, fakta ini menunjukkan
bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat
dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau
bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata
para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri
bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya
sebagai penguat atas penafsiran.
48
KOREKSI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP MAKNA
PENGKHUSUSAN PADA
HADITS
Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah
mengetengahkan pandangan positif yang
mengindikasikan kecerdasan, kepandaian dan
kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu
Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits
Nabi menyangkut tema ini (sesuai
dengan informasi yang dimiliki pada saat itu)
tetapi ia mencabut pandangan ini dan
menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya
dengan tafsir yang rasional, dan
menetapkan kebenaran maknanya. Dengan fakta
ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan
keras mereka yang beranggapan kandungan hadits
mengandung kemusyrikan atau
kekufuran, dan mereka mengira bahwa kandungan
makna hadits itu keliru dan sesat, serta
mereka yang menilai bahwa kandungan hadits
mencederai status tauhid dan pensucian.
Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar
hawa nafsu, kebutaan, salah faham, dan
kedangkalan fikiran. Semoga Allah senantiasa
menerangi mata hati kita dan membimbing
kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang
menunjukkan jalan yang lurus.
Dalam Al-Fataawaa jilid 11 hlm 96 Ibnu
Taimiyyah menulis sbb : Muhammad adalah
junjungan anak Adam, makhluk paling mulia dan
mulia di sisi Allah. Karena itu ada
orang berpendapat bahwa karena beliau Allah
menciptakan alam semesta atau kalau
bukan karena beliau Allah tidak akan
menciptakan ‘Arsy, kursi, langit, bumi, matahari,
dan bulan. Tapi pandangan ini bukanlah hadits
Nabi, baik shahih atau dlo’if dan tidak ada
seorang ulama pun yang mengutipnya sebagai
hadits Nabi. Malah tidak juga bersumber
dari para sahabat. Ungkapan ini adalah ungkapan
yang pengucapnya misterius dan bisa
ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman
Allah yang artinya : "Tidakkah kamu
perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan
untuk (kepentingan)mu apa yang di
langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
dan di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan."
(Q.S. Luqman : 20)
"Allah-lah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air
hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan
bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar
di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungaisungai."
(Q.S. Ibrahim : 32)
”Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu, berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan
(pula) bagimu sungai-sungai.
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari
dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan
bagimu malam dan siang.”
(Q.S. Ibrahim : 32-33)
dan ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah
menciptakan makhluk untuk anak cucu
Adam. Sudah maklum, bahwa di samping demi
kepentingan anak cucu Adam, Allah
memiliki hikmah-hikmah lain yang lebih besar
dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di
49
dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan
kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat
yang tercakup di dalamnya.
Jika dikatakan : Allah melakukan sesuatu untuk
sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya
tidak ada hikmah lain. Demikian pula ucapan
seseorang : Jika tidak karena ini maka
Allah tidak akan menciptakan itu, bukan berarti
tidak ada hikmah lain yang besar di
dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa
jika dalam ungkapan tersebut yang
dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih yang
paling utama, yakni Muhammad,
dimana penciptaan beliau adalah tujuan yang
dicari dan hikmah yang besar yang lebih
besar dari yang lain, maka kesempurnaan makhluk
dan puncak kesempurnaan tercapai
dengan Muhammad SAW. Dikutip dari kitab Fataawaa.
ANALISA PENTING TERHADAP PANDANGAN IBNU
TAIMIYYAH YANG
HILANG DARI BENAK PARA PENGIKUTNYA
Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah,
jauhnya 6si dan dalamnya pemahaman
beliau dalam memberikan interpretasi terhadap
keistimewaan yang telah tersebar dan
populer ini. dalam masalah ini terdapat hadits
yang menggambarkan tawassul Nabi
Adam, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan
dinilai shahih oleh mereka yang
mengkategorikannya sebagai shahih, dinilai
hasan oleh mereka yang mengklasifikasikannya
sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar
hadits yang menerimanya.
Cobalah dengarkan Ibnu Taimiyyah sendiri
mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini
memiliki sudut pandang yang benar.” Di manakah
posisi pendapat Ibnu Taimiyyah ini
dari pendapat orang yang mendudukkan dan
memberdirikan dunia, dan mengeluarkan
mereka yang berpendapat seperti Ibnu Taimiyyah
dari lingkaran Islam, menuduh mereka
sesat dan musyrik atau bid’ah dan khurafat kemudian
dengan bohong mengklaim sebagai
pengikut madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah,
padahal ia sungguh jauh dari Ibnu
Taimiyyah dan kaum salaf. Tindakan
negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan
di atas saja. Justru yang jadi fokus adalah ia
senantiasa bersama Ibnu Taimiyyah dalam
semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang
menyangkut pengagungan terhadap
Rasulullah SAW atau menguatkan kemuliaan,
keagungan dan kedudukan beliau. Karena
dalam hal-hal ini ia akan ragu, berfikir dan
merenung. Dari sini, akan tampak padanya
sikap protektif terhadap status tauhid atau
fanatisme terhadap tauhid.
_AC __4<
_)G H&_I2"
*Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
Hadits ketiga yang mendukung hadits tawassul
Adam adalah hadits yang dikeluarkan
oleh Ibnu Al-Mundzir dalam tafsirnya, dari
Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain AS, ia
berkata, “Ketika Adam tertimpa kesalahan, ia
sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril
datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam,
Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu
taubat yang Allah menerima taubatmu
darinya?”,“Mau, wahai Jibril.”,“Berdirilah di
tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu
agungkanlah Dia dan berikanlah Dia
pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih
dicintai Allah melebihi pujian.”
“Apa yang harus saya ucapkan, wahai Jibril?”,“Ucapkanlah
: Tiada Tuhan kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya
kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang
50
menghidupkan dan mematikan. Dia hidup dan tidak
akan mati. Di tangannya segala
kebaikan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Selanjutnya akuilah kesalahanmu
dan bacalah : Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan
dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain
Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat
aniaya terhadap diriku sendiri dan
berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak
ada yang mengampuni dosa kecuali
Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu
dengan perantara kedudukan
Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di
sisi-Mu, agar Engkau mengampuni
kesalahanku. Nabi bercerita, “Lalu Adam
melakukan perintah Jibril. “Wahai Adam,
siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya
Allah.“Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika
Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya
berdiri sebagai manusia sempurna
yang bisa mendengar, melihat, berfikir dan
merenung, maka saya melihat pada kaki
‘arsy-Mu terdapat tulisan : Dengan nama Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu
bagiNya. Muhammad utusan Allah. Karena
saya tidak melihat nama malaikat muqarrab (yang
didekatkan) dan Nabi rasul lain selain
Muhammad, sesudah nama-Mu, maka saya tahu bahwa
Muhammad adalah makhluk
paling mulia di sisi-Mu. “Engkau benar, dan Aku
telah menerima taubatmu dan telah
mengampunimu.” Dikutip dari Ad-Durr
al-Mantsuur jilid 1 hlm. 146.
Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakr
al Baqir, salah satu tabi’in terpercaya
dan tokoh mereka. Enam Imam hadits meriwayatkan
hadits darinya. Ia meriwayatkan
hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan
lain-lain RA.
*Hadits Pendukung Keempat untuk Hadits Tawassul
Hadits keempat pendukung tawassul Adam adalah
hadits riwayat Abu Bakar Al-Aajuri
dalam Kitab As-Syarii’ah. Ia berkata,
“Harun ibn Yusuf At-Tajir bercerita kepadaku.”
Harun berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani
bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata,
“Abu ‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku
dari ‘Abdirrahman ibn Abi Az-Zinaad
dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah
satu kalimat yang dengannya Allah
menerima taubat Adam adalah : Ya Allah,
Sesungguhnya saya memohon dengan
kemuliaan Muhammad padaMu. “Apa yang
memberitahukanmu siapa Muhammad ?”
“Ya Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu
saya melihat ada tulisan pada ‘arsy-Mu
: Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan
Allah. Maka saya tahu, ia adalah
makhluk-Mu yang paling mulia.” Jawab Adam.
Sebagaimana diketahui penggabungan
atsar ini pada haditsnya ‘Abdirrahman ibn Zaid
membuat hadits ini kuat.
*Surga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi
Muhammad Saw Memasukinya
Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi
Muhammad SAW adalah bahwa sorga
haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi
Muhammad sebagaimana tercantum
dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al Khaththab
RA dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda :
34__ _<5/_ 84^ __?_ 8 U__^_ c_A2&?_ 8
U__^ J9=__
“Surga diharamkan untuk para Nabi sampai aku
masuk ke dalamnya dan diharamkan
untuk semua ummat sampai ummatku masuk ke
dalamnya.”
(HR At-Thabarani dalam Al-Awsath).
Menurut Al-Haitsami isnad hadits ini hasan.
(Dikutip dari Majma’ul Zawaa’id jilid 10
hlm. 69).
51
*Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama Muhammad
SAW
Salah satu contoh karunia Allah adalah
menyebarnya nama Muhammad di Al-Mala’ al-
A’laa (alam Malaikat muqarrabun)
sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ab ibn
Al-Akhbaar berkata, “Sesungguhnya Allah SWT
menurunkan tongkat kepada Adam
sebanyak jumlah para Nabi dan rasul. Lalu Adam
mendatangi putranya, Syits dan
berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku
sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat
ini dengan membangun ketaqwaan dan ikatan yang
kokoh. Setiap kali engkau menyebut
Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad. Karena
aku melihat namanya tertulis pada
kaki ‘Arsy pada saat aku dalam kondisi antara
roh dan tanah liat. Kemudian aku
menjelajahi langit. Pada setiap tempat di
langit aku melihat nama Muhammad tertulis
padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di
sorga dan di sorga aku tidak melihat
istana dan kamarnya kecuali tertera nama
Muhammad di situ. Dan saya juga melihat
namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun
bambu belukar sorga, daun pohon thuba,
daun sidratul muntaha, di tepi-tepi hijab dan
di antara mata para malaikat. Perbanyaklah
menyebut nama Muhammad karena para malaikat
selalu menyebut namanya setiap
waktu.” (Al-Mawaahib al-Laduniyyah jilid
1 hlm. 187). Dalam syarhnya Az-Zurqaani
mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ibnu Katsir.”
Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah
menyebut hadits di atas. “Terdapat riwayat
bahwa Allah SWT telah menulis nama Muhammad di
atas ‘Arsy, pintu, kubah, dan
dedaunan sorga.” tulis Ibnu Taimiyyah.
Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah
diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan
hadits-hadits di atas yang
menjelaskan keagungan nama Muhammad dan
ketinggaan nama beliau.
Dalam salah satu riwayat dari Ibnul Jauzi dari
Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?”
“Ketika Allah menciptakan bumi dan
naik ke atas langit dan menyempurnakannya
menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy
maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘Arsy “Muhammad
Rasulullah Khaatamul
Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan
sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu
Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan
kemah. Saat itu kondisi Adam berada
antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan
Adam, ia memandang ‘Arsy dan
melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan
kepadanya bahwa Muhammad (yang
tercatat pada ‘Arsy) junjungan anakmu. Ketika
Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan,
kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan
namaku kepada-Nya.”
(Al-Fataawaa jilid 2 hlm 150).
*Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits Tawassul
Adam :
Dalam hadits di atas, menegaskan tawassul dengan
Rasulullah SAW sebelum alam
semesta mendapat kehormatan dengan keberadaan
beliau dan bahwa tolok ukur
keabsahan tawassul ialah bahwa orang yang
dijadikan obyek tawassul harus memiliki
kedudukan tinggi di sisi Allah, serta tidak
disyaratkan ia masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini yang
menyatakan tawassul dengan siapapun
tidak sah kecuali saat ia masih hidup di dunia
adalah pendapat orang yang mengikuti
hawa nafsunya tanpa mendapat hidayah Allah.
52
*Kesimpulan Dari Analisa Terhadap Status Hadits
Tawassul Adam :
Kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut
dikategorikan hadits shahih sebab eksistensi
hadits-hadits pendukung, dan dikutip oleh
elite-elite ulama dan para pakar (a-immah)
hadits dan penghapalnya yang memiliki posisi
luhur dan kedudukan tinggi. Mereka
adalah orang-orang yang kuat menyangkut As-Sunnah
An-Nabawiyyah seperti Al-Hakim,
As-Suyuthi, As-Subki dan Al-Bulqini.
Hadits tersebut juga dikutip oleh Al-Bulqini
dalam kitabnya yang mensyaratkan tidak
akan mengeluarkan hadits maudlu’, dan
dikomentari oleh Adz-Dzahabi dengan,
“Berpeganglah dengannya, karena kitab itu
sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” ( dikutip
dari Syarhul Mawahib dan kitab lain ).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir
dalam kitab Al Bidayah dan dijadikan
argumentasi oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al-Fataawaa.
Adapun pro kontra dari para
‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal
yang aneh. Karena banyak hadits yang
menimbulkan polemik lebih besar dan mendapat
kritikan lebih tajam.
Berangkat dari pro kontra ini, munculah
karangan-karangan besar yang berisi
argumentasi, penelitian, peninjauan, dan
kecaman. Namun tidak sampai melontarkan
tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari
lingkaran iman karena perbedaan
menyangkut status salah satu dari beberapa
hadits. Dan hadits tawassul Adam ini,
termasuk
hadits-hadits yang memicu perbedaan itu.
0 Celoteh Mereka:
Posting Komentar