Terhanyut dalam aliran
air mata yang menderas membawa angin hampa isak tangis yang mendalam, langit
memendung hitam dengan gerimis yang menetes dimuka melati hingga penyesalan tak
berbuih harapan semua sirna bersama secarik kertas dan sebuah undangan
pernikahan. “aku benci…!!”, hanya satu kata yang keluar dari mulutku, aku tak
sanggup hubungan ini terhapus sedini mungkin lebih baik hati ini tersayat oleh
sebilah pedang yang menikam tubuhku.
Luka dihati ini
semakin menganga tak bertuah di saat semua akan sirna dan terpisah dalam waktu
yang sangat dekat. Mata seakan tak percaya semua ini harus terpupus. “Oh… Saif
tegakah engkau?”. hati ini terenyuh kembali disaat ku bayangkan dan betapa
mengerikan perpisahan ini. Malam semakin larut dengan air mata, bintang sedikit
menghilang dengan terangnya rembulan tapi rembulan tertutup oleh mendung
dimataku yang selalu memercikkan air mahabbah yang sekian lama ku bina,
sehingga perasangka buruk membesit dalam satu wacana cinta bahwa perjanjian
cinta yang Saif lontarkan adalah palsu.
Tak kuasa ku tahan
deraian air mata ini seakan pecah dan tumpah yang terkadang rasanya begitu asin
meskipun hanya gemercik air saja, tapi ini air mata, sekali cinta tetaplah
cinta. Aku coba terbangkan pesawat telfonku untuknya.
“Hallo Saif…?”
“Iya halo… Melati..!! ada apa
lagi?!”
“Saif.. aku ingin ketemu kamu.
Kamu bisa kan..?”
“Maaf Melati,, saya rasa gak
bisa…!”
“Tapi Saif… kali ini saja, please
deh,, tolong obati kerinduanku ini”
“Baiklah Melati…! Tapi untuk saat
ini saja. Kita ketemuan dimana?” Lajut Saif
“Terima kasih Saif, kita ketemuan di Warles (warung
lesehan) bebek sepesial. Bagaimana?” tanya Melati penuh harap.
“Okelah ..saya kesana” jawab Saif
“Saif… aku cinta kamu!! Assalamu
alaikum”
“Aku juga ..!!Waalaikum salam”
jawab Saif singkat.
Aku sempat meneteskan
air mata di saat pesawat telfonku tertutup oleh satu luapan cinta, aku renungi
bahasanya hingga hati berisi pertanyaan tentang nasib cintaku.
Angin berhembus dalam kesunyian
malam bintangpun hadir di sanding rembulan sebagai tanda kesetiaan, ku tatapi
jarum jam yang bertekuk di angka 19:00 wib membuatku berhias seoke-okenya. Aku
berangkat dengan ucapan bismillah dan mendarat di sebuah warles spesial tempat
kita berdua bertemu dengan menyimpan sejuta kenangan yang mungkin akan segera
pergi.”Assalamu alaikum Saif..! terlambatkah aku?”.tanyaku ketakutan “Waalaikum
salam Melati…aku juga baru datang kok.”
Dialog demi dialog terucap satu
persatu, kamipun sangat menikmati malam itu.
“Melati… katanya ada yang mau kamu
bicarakan?” Saif memulai pembicaraan.
“Saif.. kayaknya tempat ini kurang
pas, bagaimana kalau kita bicara di taman saja”
“baiklah,, ga’ apa-apa, yuk kita
kesana”
Rembulan mulai terang
dan indah di hiasi hamburan bintang-bintang tanpa ada awan yang sedih dengan
mata yang berkaca-kaca. Kami duduki gumpalan-gumpalan rumput dengan memandangi
rembulan yang bercerita tentang perjalanan cinta yang selama ini kita bina.
“Saif,,, apa sih arti undangan
yang menyakitkan itu?” kubuka pertanyaan dengan gugup.
“Melati.. sebenarnya aku masuh
sangat mencintaimu tapi ini adalah takdir
karena semua ini bukan kehendakku tapi kehendak nenekku yang sedang
sakit keras, andai saja nenekku tidak memaksa ini semua mungkin aku akan
bersanding di pelaminan bersamamu sekarang dan semua takkan menjadi seperti
ini. Aku yakin itu!!” jelas Saif meyakinkan.
“Saif,, aku ngerti banget
keadaanmu saat ini tapi secepat inikah kau pergi dari relung hatiku, sedangkan
aku menanam cintamu penuh dengan ketulusan dan sepenuh jiwa ragaku. Saif,,
meskipun kita baru kali ini mengungkapkan perasaan kita sendiri di bawah
naungan indahnya bulan dan kerajaan langit yang sebelumnya kita hanya mampu
bicara didalam secarik kertas saja, akan tetapi di akhir segalanya ini mampukah
aku menahan air mata bersama dengan hilangnya harapan, perjuangan, cinta, dan
arti dari sebuah kesucian. Saif,, berilah aku waktu menerima kenyataan ini,
bila kau biarkan aku gentayangan dalam cinta seperti ini sedangkan diantara
kita masih terpatri sebuah cinta. Dan dikala dirimu pergi cinta ini tak bertuah
lagi hingga semakin besar dan besar menjalar di ranting sanubariku, bila
cintaku sudah seperti ini maka kamu akan menganggapku apa??. Saif…………..” Tak ku
sangka dia memelukku dengan begitu erat hingga ku tak kuasa melanjutkan kata-kataku
Karena mulutku terkunci oleh dekapannya. Dikala ku terlarut dalam kehangatan
cinta, ku coba tuk sadar, lantas akupun mendorongnya dengan sedikit percikan
air mata yang menetes karena aku telah berpasrah tanpa tahu itu cinta atau
nafsu yang telah berbicara.
“Melati… ada apa..?? kenapa kau
mendorongku, bukankah ini suatu hal yang indah???”
“ Tidak Saif,, maafin aku,
sebenarnya bukan ini yang aku harapkan darimu, aku hanya ingin kau masih
menganggapku seperti dulu, karena kau sendiri yang berkata bahwa cinta itu suci
tapi mengapa saat ini kau nodai cinta itu dengan hausnya nafsu? Apakah ini
pertanda bahwa kau benar-benar akan meninggalkanku? Masihkah dirimu
menganggapku sebagai seorang kekasih? Berilah aku waktu untuk menerima
kenyataan ini.
“Melati.. engkaulah kekasihku yang
hanya bisa bersandar sebagai sahabat saja”
“Maksudmu apa??”
“Maaf Melati.. aku harus tetap
memilih pilihanku yaitu meninggalkanmu, aku tak bisa bersanding dengan dirimu
karena itu tak mungkin”
“Tapi mengapa kau lakukan ini
padaku?? Apa arti dari pelukanmu itu, apa itu hanyalah nafsu belaka?? Apakah
ini cinta tanpa seknario, tapi mengapa ini harus terjadi? Aku
benci..benci..benci. kau nodai kesucian cinta ini dengan nafsumu”. Kata diriku
bersama aliran air mata. Akupun melangkahkan kaki dan pergi jauh darinya.
“Melati.. tunggu aku, dengarkan
dulu penjelasanku. Melati tunggu..!!!” akupun pergi tak menggubrisnya sedangkan
air mata terus mengalir membasahi kedua lesung pipiku.
Aku terus terbayang akan keindahan
di malam itu, meskipun hati ini terasa sakit karena itu memang awal perjumpaan
kami sejak Saif bertunangan. Aku tatapi rembulan dengan linangan air mata
meskipun saat ini ku tersesat dalam bayanganku sendiri namun inilah cinta…..
Tiada henti menerka, tiada
bersuara namun mengapa juga air mata harus tumpah dalam cawanannya? Belum
berakhir aku meratapi kesedihan ini, ku peroleh juga undangan dari sahabat
tercintaku Naisya, yah..itu dia Naisya yang selalu tahu tentang hiruk pikuk
hidupku. Dia juga memintaku untuk membacakan syair-syair cinta di acara
pernikahannya, akupun bersyukur dan tersenyum bahagia sebelum semua itu berubah
menjadi air mata sebab setelah ku buka undangan itu ternyata dia adalah orang
yang dijodohkan dengan Saif. Hati ini menjerit histeris, sakit terluka. Di dalam
sakral yang hilang karena sayatan sahabat harus bertepi di hatiku. Tuhan….
Mengapa ini terjadi padaku, mengapa ini terasa tak adil tuhan,,, belum pernah
kau beri kebahagiaan cinta di hatiku, mengapa kau mencabutnya. Tuhan… apa
rencanamu tuhan….? Jeritan hati tiada lagi terkendali, semua kosong, hampa,
semu dan Cuma bayangan saja. Di saat sang obor raksasa menghiasi terbitnya
fajar, burung-burung berinai bernyanyi tapi mengapa aku menangis? Di pagi itu
sosok Naisya menjumpaiku, berbincang, bercanda tawa walaupun hati ini menahan
luka, maklum dia memang belum tahu kalau aku adalah kekasih tunangannya. Hanya
karena persahabatan ini aku tutup semua rahasia di sanubariku sendiri.
“Naisya… maafin aku sepertinya aku
ga’ bisa hadir di acara pernikahanmu”
“Mengapa Melati….? Hanya kamu di
hari itu yang akan jadi tamu terindah bagiku apalagi puisimu, syairmu yang
selalu mendamaikan kegemetaranku saat itu. Melati.. aku mohon, aku ga’ mungkin
menarik lagi undangan yang telah tersebar luas, apalagi dalam waktu 3 hari. Melati..
pernikahan ini tiada berarti tanpa hadirmu, aku menikah bukan karena cinta tapi
aku di paksa. Jadi tolong Bantu aku Melati, aku sangat sayang kamu seperti dulu
waktu kita SMA, kita tidak pernah berantem sampai saat ini Melati. Melati.. aku
mohon semua tergantung kamu.” Aku tiada bisa berkata namun air mata menjadi
isyarat segalanya, aku juga tak bisa mencegah Naisya yang pulang begitu saja.
Di saat malam di
terangi rembulan aku masih merenungkan sebuah jawaban dari altar sakral di
hatiku, namun tiada jawaban yang mengindahkanku hingga pada tanggal
26-juni-2010 tepat dengan tanggal pernikahan Saif dan Naisya aku terpaksa
menghapus air mata cinta demi sahabat yang ku tanam lebih lama dari pada cinta.
Aku menghargai cinta tapi tak bisa bagiku menghapus sebuah arti persahabatan
ini. Aku melangkah demi langkah tanpa memperdulikan yang namanya Saif, aku
berdoa pada tuhan dan di saat itulah aku memahami arti di balik semua ini,
persahabatan lebih indah dari pada cinta. Itulah yang kurasakan di tengah
perjalananku, di saat ku menapaki halaman rumahnya yang penuh undangan semuanya
tertatap padaku tapi satu yang tidak aku lihat, yaitu Saif. Naisya menyambutku
tapi aku lebih memilih sendiri di balik gorden merah di belakang podium.
“Naisya…selamat ya, selamat menempuh
hidup baru dan semoga bahagia” ku tutupi kesedihanku.
“Terima kasih Melati,,, do’akan
aku ya,, O..iya aku masuk dulu ya karena acara akan segera di mulai.”
Aku tatapi meja kecil
yang tersusun kalam ilahi, aku terus bersembunyi apalagi sang mempelai pria,
Saif telah datang, di balik gorden itu aku mendengar semua rangkaian acara.
Apalagi saat ku dengar ijab qobul yang terucap dari penghulu dan Saif air
mataku berderai-derai, nelangsa hidupku, lemas terpupus karena harapan yang
hilang. Pemasrahan dari kedua mempelai telah usai dan kini saatnya acara-acara
hiburan termasuk diriku yang akan membacakan sebuah syair. Di tangga acara yang
ketiga akupun dipanggil sebagai penyair, padahal isi hati ini sangatlah sakit
dan tidak ku sangka aku tidak kuat keluar dari gorden merah itu sehingga aku
pegang mikrofon dengan suara terbata-bata.
“Sakit tiada tertahan lagi
Hingga perih tiada lagi terobati
Aku mencoba mencari dan memahami
Ini semua kesalahan hati”
Aku cucurkan air mata
yang tak terbendung karena ku lihat saif sedang bahagia bersama Naisya diatas
pelaminan biru. Akupun melanjutkan syair berikutnya namun
sebelum itu aku melihat Isma
adikku menemui Naisya sehingga aku melihat dari balik gorden Naisya menangis
berlinang bersua dengan tumpahan air matanya, entah apa yang Isma ucapkan,
akupun mengambil nafas dan melanjutkannya lagi.
“Dulu hanya dirimu
Yang membuatku bangun
Di kala aku terjatuh
Hanya dirimu juga
Yang membuat diri ini terbang
Meskipun sayap-sayap ini
Terpatah dan terkoyah”
Air mataku pecah
merenyuhkan jiwa, aku merasa lumpuh dalam kebahagiaan mereka tiada sanggup lagi
untuk melanjutkannya. Tapi demi dia aku paksakan, ku berusaha tegar meskipun
isak tangis semakin tak ber abjad.
“Tapi sekarang…
Kau melenyapkannya
Perasaanku terluka
Dengan garam kau mengobatinya
Dedaunan termakan anai
Kering terlalap api
Kebiruan bergoyang
Dia atas indahnya penderitaan”
Akupun terjatuh. Semua
orang terpaku padaku di saat ku keluar dari gorden itu, aku merasa ga’ sanggup
lagi tertatih di depan mereka tapi mengapa seolah-olah kakiku melangkah sendiri
hingga aku terkulai dengan bersajadah air mata. Naisya menghampiriku. Dia tahu
tentangku dengan Saif, air matanya sebagai isyarat dari permintaan maafnya. Di
saat itu aku mengerti semuanya mengapa tuhan merencanakan semua ini hanya
untukku. Dengan senyum aku buka lembaran yang berisi syair berikutnya. Namun
pandanganku kabur, dengan air mata yang membanjiri pipiku, ku ucapkan sepenggal
syair dari palung jiwaku.
“Mengapa aku tersesat
Dalam bayanganku sendiri
Aku pilu diantara lamunan dan hayalanku
Tapi… aku ingin datang dan pergi
Ketika ku renungi semua janji
Ternyata kau yang datang dan pergi”
Akupun jatuh pingsan
dengan isak tangis dan sejuta air mata cinta. “Melati… maafin aku…!!!.” Lirih
Naisya di akhir sadarku.
By:
Kang Aaf
15
Desember 2010
0 Celoteh Mereka:
Posting Komentar