Nasigorengseratus

Labels

Senin, 27 Januari 2014

cerpen cinta ala kang aaf

Syair-Syair Cinta Untuk Naisya

Terhanyut dalam aliran air mata yang menderas membawa angin hampa isak tangis yang mendalam, langit memendung hitam dengan gerimis yang menetes dimuka melati hingga penyesalan tak berbuih harapan semua sirna bersama secarik kertas dan sebuah undangan pernikahan. “aku benci…!!”, hanya satu kata yang keluar dari mulutku, aku tak sanggup hubungan ini terhapus sedini mungkin lebih baik hati ini tersayat oleh sebilah pedang yang menikam tubuhku.
Luka dihati ini semakin menganga tak bertuah di saat semua akan sirna dan terpisah dalam waktu yang sangat dekat. Mata seakan tak percaya semua ini harus terpupus. “Oh… Saif tegakah engkau?”. hati ini terenyuh kembali disaat ku bayangkan dan betapa mengerikan perpisahan ini. Malam semakin larut dengan air mata, bintang sedikit menghilang dengan terangnya rembulan tapi rembulan tertutup oleh mendung dimataku yang selalu memercikkan air mahabbah yang sekian lama ku bina, sehingga perasangka buruk membesit dalam satu wacana cinta bahwa perjanjian cinta yang Saif lontarkan adalah palsu.
Tak kuasa ku tahan deraian air mata ini seakan pecah dan tumpah yang terkadang rasanya begitu asin meskipun hanya gemercik air saja, tapi ini air mata, sekali cinta tetaplah cinta. Aku coba terbangkan pesawat telfonku untuknya.
“Hallo Saif…?”
“Iya halo… Melati..!! ada apa lagi?!”
“Saif.. aku ingin ketemu kamu. Kamu bisa kan..?”
“Maaf Melati,, saya rasa gak bisa…!”
“Tapi Saif… kali ini saja, please deh,, tolong obati kerinduanku ini”
“Baiklah Melati…! Tapi untuk saat ini saja. Kita ketemuan dimana?” Lajut Saif
 “Terima kasih Saif, kita ketemuan di Warles (warung lesehan) bebek sepesial. Bagaimana?” tanya Melati penuh harap.
“Okelah ..saya kesana” jawab Saif
“Saif… aku cinta kamu!! Assalamu alaikum”
“Aku juga ..!!Waalaikum salam” jawab Saif singkat.
Aku sempat meneteskan air mata di saat pesawat telfonku tertutup oleh satu luapan cinta, aku renungi bahasanya hingga hati berisi pertanyaan tentang nasib cintaku.
Angin berhembus dalam kesunyian malam bintangpun hadir di sanding rembulan sebagai tanda kesetiaan, ku tatapi jarum jam yang bertekuk di angka 19:00 wib membuatku berhias seoke-okenya. Aku berangkat dengan ucapan bismillah dan mendarat di sebuah warles spesial tempat kita berdua bertemu dengan menyimpan sejuta kenangan yang mungkin akan segera pergi.”Assalamu alaikum Saif..! terlambatkah aku?”.tanyaku ketakutan “Waalaikum salam Melati…aku juga baru datang kok.”
Dialog demi dialog terucap satu persatu, kamipun sangat menikmati malam itu.
“Melati… katanya ada yang mau kamu bicarakan?” Saif memulai pembicaraan.
“Saif.. kayaknya tempat ini kurang pas, bagaimana kalau kita bicara di taman saja”
“baiklah,, ga’ apa-apa, yuk kita kesana”
Rembulan mulai terang dan indah di hiasi hamburan bintang-bintang tanpa ada awan yang sedih dengan mata yang berkaca-kaca. Kami duduki gumpalan-gumpalan rumput dengan memandangi rembulan yang bercerita tentang perjalanan cinta yang selama ini kita bina.
“Saif,,, apa sih arti undangan yang menyakitkan itu?” kubuka pertanyaan dengan gugup.
“Melati.. sebenarnya aku masuh sangat mencintaimu tapi ini adalah takdir  karena semua ini bukan kehendakku tapi kehendak nenekku yang sedang sakit keras, andai saja nenekku tidak memaksa ini semua mungkin aku akan bersanding di pelaminan bersamamu sekarang dan semua takkan menjadi seperti ini. Aku yakin itu!!” jelas Saif meyakinkan.
“Saif,, aku ngerti banget keadaanmu saat ini tapi secepat inikah kau pergi dari relung hatiku, sedangkan aku menanam cintamu penuh dengan ketulusan dan sepenuh jiwa ragaku. Saif,, meskipun kita baru kali ini mengungkapkan perasaan kita sendiri di bawah naungan indahnya bulan dan kerajaan langit yang sebelumnya kita hanya mampu bicara didalam secarik kertas saja, akan tetapi di akhir segalanya ini mampukah aku menahan air mata bersama dengan hilangnya harapan, perjuangan, cinta, dan arti dari sebuah kesucian. Saif,, berilah aku waktu menerima kenyataan ini, bila kau biarkan aku gentayangan dalam cinta seperti ini sedangkan diantara kita masih terpatri sebuah cinta. Dan dikala dirimu pergi cinta ini tak bertuah lagi hingga semakin besar dan besar menjalar di ranting sanubariku, bila cintaku sudah seperti ini maka kamu akan menganggapku apa??. Saif…………..” Tak ku sangka dia memelukku dengan begitu erat hingga ku tak kuasa melanjutkan kata-kataku Karena mulutku terkunci oleh dekapannya. Dikala ku terlarut dalam kehangatan cinta, ku coba tuk sadar, lantas akupun mendorongnya dengan sedikit percikan air mata yang menetes karena aku telah berpasrah tanpa tahu itu cinta atau nafsu yang telah berbicara.
“Melati… ada apa..?? kenapa kau mendorongku, bukankah ini suatu hal yang indah???”
“ Tidak Saif,, maafin aku, sebenarnya bukan ini yang aku harapkan darimu, aku hanya ingin kau masih menganggapku seperti dulu, karena kau sendiri yang berkata bahwa cinta itu suci tapi mengapa saat ini kau nodai cinta itu dengan hausnya nafsu? Apakah ini pertanda bahwa kau benar-benar akan meninggalkanku? Masihkah dirimu menganggapku sebagai seorang kekasih? Berilah aku waktu untuk menerima kenyataan ini.
“Melati.. engkaulah kekasihku yang hanya bisa bersandar sebagai sahabat saja”
“Maksudmu apa??”
“Maaf Melati.. aku harus tetap memilih pilihanku yaitu meninggalkanmu, aku tak bisa bersanding dengan dirimu karena itu tak mungkin”
“Tapi mengapa kau lakukan ini padaku?? Apa arti dari pelukanmu itu, apa itu hanyalah nafsu belaka?? Apakah ini cinta tanpa seknario, tapi mengapa ini harus terjadi? Aku benci..benci..benci. kau nodai kesucian cinta ini dengan nafsumu”. Kata diriku bersama aliran air mata. Akupun melangkahkan kaki dan pergi jauh darinya.
“Melati.. tunggu aku, dengarkan dulu penjelasanku. Melati tunggu..!!!” akupun pergi tak menggubrisnya sedangkan air mata terus mengalir membasahi kedua lesung pipiku.
Aku terus terbayang akan keindahan di malam itu, meskipun hati ini terasa sakit karena itu memang awal perjumpaan kami sejak Saif bertunangan. Aku tatapi rembulan dengan linangan air mata meskipun saat ini ku tersesat dalam bayanganku sendiri namun inilah cinta…..
Tiada henti menerka, tiada bersuara namun mengapa juga air mata harus tumpah dalam cawanannya? Belum berakhir aku meratapi kesedihan ini, ku peroleh juga undangan dari sahabat tercintaku Naisya, yah..itu dia Naisya yang selalu tahu tentang hiruk pikuk hidupku. Dia juga memintaku untuk membacakan syair-syair cinta di acara pernikahannya, akupun bersyukur dan tersenyum bahagia sebelum semua itu berubah menjadi air mata sebab setelah ku buka undangan itu ternyata dia adalah orang yang dijodohkan dengan Saif. Hati ini menjerit histeris, sakit terluka. Di dalam sakral yang hilang karena sayatan sahabat harus bertepi di hatiku. Tuhan…. Mengapa ini terjadi padaku, mengapa ini terasa tak adil tuhan,,, belum pernah kau beri kebahagiaan cinta di hatiku, mengapa kau mencabutnya. Tuhan… apa rencanamu tuhan….? Jeritan hati tiada lagi terkendali, semua kosong, hampa, semu dan Cuma bayangan saja. Di saat sang obor raksasa menghiasi terbitnya fajar, burung-burung berinai bernyanyi tapi mengapa aku menangis? Di pagi itu sosok Naisya menjumpaiku, berbincang, bercanda tawa walaupun hati ini menahan luka, maklum dia memang belum tahu kalau aku adalah kekasih tunangannya. Hanya karena persahabatan ini aku tutup semua rahasia di sanubariku sendiri.
“Naisya… maafin aku sepertinya aku ga’ bisa hadir di acara pernikahanmu”
“Mengapa Melati….? Hanya kamu di hari itu yang akan jadi tamu terindah bagiku apalagi puisimu, syairmu yang selalu mendamaikan kegemetaranku saat itu. Melati.. aku mohon, aku ga’ mungkin menarik lagi undangan yang telah tersebar luas, apalagi dalam waktu 3 hari. Melati.. pernikahan ini tiada berarti tanpa hadirmu, aku menikah bukan karena cinta tapi aku di paksa. Jadi tolong Bantu aku Melati, aku sangat sayang kamu seperti dulu waktu kita SMA, kita tidak pernah berantem sampai saat ini Melati. Melati.. aku mohon semua tergantung kamu.” Aku tiada bisa berkata namun air mata menjadi isyarat segalanya, aku juga tak bisa mencegah Naisya yang pulang begitu saja.
Di saat malam di terangi rembulan aku masih merenungkan sebuah jawaban dari altar sakral di hatiku, namun tiada jawaban yang mengindahkanku hingga pada tanggal 26-juni-2010 tepat dengan tanggal pernikahan Saif dan Naisya aku terpaksa menghapus air mata cinta demi sahabat yang ku tanam lebih lama dari pada cinta. Aku menghargai cinta tapi tak bisa bagiku menghapus sebuah arti persahabatan ini. Aku melangkah demi langkah tanpa memperdulikan yang namanya Saif, aku berdoa pada tuhan dan di saat itulah aku memahami arti di balik semua ini, persahabatan lebih indah dari pada cinta. Itulah yang kurasakan di tengah perjalananku, di saat ku menapaki halaman rumahnya yang penuh undangan semuanya tertatap padaku tapi satu yang tidak aku lihat, yaitu Saif. Naisya menyambutku tapi aku lebih memilih sendiri di balik gorden merah di belakang podium.
“Naisya…selamat ya, selamat menempuh hidup baru dan semoga bahagia” ku tutupi kesedihanku.
“Terima kasih Melati,,, do’akan aku ya,, O..iya aku masuk dulu ya karena acara akan segera di mulai.”
Aku tatapi meja kecil yang tersusun kalam ilahi, aku terus bersembunyi apalagi sang mempelai pria, Saif telah datang, di balik gorden itu aku mendengar semua rangkaian acara. Apalagi saat ku dengar ijab qobul yang terucap dari penghulu dan Saif air mataku berderai-derai, nelangsa hidupku, lemas terpupus karena harapan yang hilang. Pemasrahan dari kedua mempelai telah usai dan kini saatnya acara-acara hiburan termasuk diriku yang akan membacakan sebuah syair. Di tangga acara yang ketiga akupun dipanggil sebagai penyair, padahal isi hati ini sangatlah sakit dan tidak ku sangka aku tidak kuat keluar dari gorden merah itu sehingga aku pegang mikrofon dengan suara terbata-bata.

“Sakit tiada tertahan lagi
Hingga perih tiada lagi terobati
Aku mencoba mencari dan memahami
Ini semua kesalahan hati”

Aku cucurkan air mata yang tak terbendung karena ku lihat saif sedang bahagia bersama Naisya diatas pelaminan biru. Akupun melanjutkan syair berikutnya namun
sebelum itu aku melihat Isma adikku menemui Naisya sehingga aku melihat dari balik gorden Naisya menangis berlinang bersua dengan tumpahan air matanya, entah apa yang Isma ucapkan, akupun mengambil nafas dan melanjutkannya lagi.

“Dulu hanya dirimu
Yang membuatku bangun
Di kala aku terjatuh
Hanya dirimu juga
Yang membuat diri ini terbang
Meskipun sayap-sayap ini
Terpatah dan terkoyah”

Air mataku pecah merenyuhkan jiwa, aku merasa lumpuh dalam kebahagiaan mereka tiada sanggup lagi untuk melanjutkannya. Tapi demi dia aku paksakan, ku berusaha tegar meskipun isak tangis semakin tak ber abjad.

“Tapi sekarang…
Kau melenyapkannya
Perasaanku terluka
Dengan garam kau mengobatinya
Dedaunan termakan anai
Kering terlalap api
Kebiruan bergoyang
Dia atas indahnya penderitaan”

Akupun terjatuh. Semua orang terpaku padaku di saat ku keluar dari gorden itu, aku merasa ga’ sanggup lagi tertatih di depan mereka tapi mengapa seolah-olah kakiku melangkah sendiri hingga aku terkulai dengan bersajadah air mata. Naisya menghampiriku. Dia tahu tentangku dengan Saif, air matanya sebagai isyarat dari permintaan maafnya. Di saat itu aku mengerti semuanya mengapa tuhan merencanakan semua ini hanya untukku. Dengan senyum aku buka lembaran yang berisi syair berikutnya. Namun pandanganku kabur, dengan air mata yang membanjiri pipiku, ku ucapkan sepenggal syair dari palung jiwaku.

“Mengapa aku tersesat
Dalam bayanganku sendiri
Aku pilu diantara lamunan dan hayalanku
Tapi… aku ingin datang dan pergi
Ketika ku renungi semua janji
Ternyata kau yang datang dan pergi”

Akupun jatuh pingsan dengan isak tangis dan sejuta air mata cinta. “Melati… maafin aku…!!!.” Lirih Naisya di akhir sadarku.

By: Kang Aaf
15 Desember 2010

0 Celoteh Mereka:

Posting Komentar

 

CERPEN ISLAMI

UNTUK UMUM

KARYA PRIBADI @af

SILAHKAN KUNJUNGI: http//:cepatkreatif.blogspot.com

LP3S

Lembaga Penerbitan Pp. Syaichona MOh. Cholil.